REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Peretas meluncurkan serangan siber global setelah mencuri kode keamanan milik Badan Keamanan Nasional (NSA) AS. Mereka meretas perusahaan pengiriman internasional FedEx, mengganggu sistem kesehatan Inggris, dan menginfeksi komputer di hampir 100 negara, pada Jumat (12/5).
Para peretas menipu korbannya untuk membuka lampiran malware berbahaya di folder spam e-mail. Lampiran virus itu biasanya berisikan tawaran pekerjaan, peringatan keamanan, dan file lain yang menarik untuk dibuka.
Ransomware kemudian mengenkripsi data di komputer korban, yang mengharuskan korban membayar 300 sampai 600 dolar AS untuk memulihkan akses. Para pakar mengatakan, peretas akan memeras korban yang biasa melakukan pembayaran dengan mata uang digital bitcoin.
75 Ribu Komputer Jadi Korban Serangan Siber Global
Departemen Keamanan Dalam Negeri AS pada Jumat (12/5) mengatakan, mereka telah menerima laporan mengenai permintaan uang tebusan tersebut. Departemen menyatakan telah bertukar informasi dengan mitra dalam dan luar negeri dan siap memberikan dukungan teknis.
Periset yang membuat perangkat lunak antivirus Avast mengatakan, mereka menemukan 57 ribu infeksi virus di 99 negara. Rusia, Ukraina, dan Taiwan telah menjadi sasaran utama.
Serangan siber yang paling mengganggu dilaporkan terjadi di Inggris. Rumah sakit dan klinik di negara itu terpaksa mengusir pasien setelah kehilangan akses ke komputer.
Perusahaan pengiriman barang internasional FedEx Corp juga mengatakan, beberapa komputer Windows milik mereka telah terinfeksi. "Kami menerapkan langkah remediasi secepat mungkin," kata FedEx Corp, dalam sebuah pernyataan.
Namun, tidak banyak perusahaan dan lembaga AS yang menjadi sasaran peretasan. Manajer riset yang membuat perangkat lunak antivirus Symantec, Vikram Thakur, mengatakan para peretas tampaknya lebih banyak meluncurkan serangan siber global ke negara-negara Eropa.
Perusahaan telekomunikasi Telefonica menjadi salah satu target serangan siber di Spanyol, tapi serangan hanya terbatas pada beberapa komputer di jaringan internal dan tidak mempengaruhi klien atau pelayanan. Perusahaan telekomunikasi lainnya seperti Telecom di Portugal dan Telefonica di Argentina juga dilaporkan menjadi target peretasan.