Ahad 14 May 2017 06:56 WIB

Institusi Pendidikan Islam Perlu Tingkatkan Pola Pikir Kritis

Kuliah umum bertajuk Islam, Knowledge and Bright Scholar bersama panel ahli dari Centre for Islamic Thought and Education UniSA di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, (9/5).
Foto: ABC
Kuliah umum bertajuk Islam, Knowledge and Bright Scholar bersama panel ahli dari Centre for Islamic Thought and Education UniSA di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, (9/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institusi dan sistem pendidikan di banyak negara Islam perlu berbenah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan lulusan mereka. Kondisi pengajaran dan tradisi keilmuan mereka saat ini jauh dari cerminan sekolah dan sistem pendidikan di era peradaban Islam masa lampau.

Kritik ini disampaikan Profesor Mohamad Abdalla, seorang ulama dan cendikiawan Muslim Australia yang juga Direktur Pusat Pengajaran dan Pendidikan Islam (CITE) University of South Australia dalam forum diskusi bertajuk ‘Islam, Knowledge, bright scholar: empowerment through education' yang diselenggarakan Kedutaan Australia di Jakarta, Selasa (9/5).

Prof Abdalla mengatakan kemunduran dan ketertinggalan negara-negara Islam di bidang pendidikan antara lain disebabkan institusi pendidikan mereka kurang mengamalkan dua tradisi penting pengajaran dan pendidikan yang pernah melejitkan peradaban Islam masa lampau di bidang iptek. Dua tradisi tersebut, yaitu institusi dan sistem pendidikan yang menghormati kebebasan akademik dan mengutamakan berpikir kritis.

“Sistem sekolah atau pengajaran pada masa peradaban Islam hingga tahun 1600-an secara subtansial lebih positif dibandingkan dengan sistem sekolah di negara-negara Islam modern sekarang ini," kata Prof Mohammad Abdalla.

"Fakta yang kita temui di mayoritas negara Islam saat ini yaitu berpikir kritis dan kebebasan akademik tidak lagi menjadi faktor atau elemen utama. Sebaliknya mereka lebih menekankan pada menghafal dan pengulangan," ungkapnya.

"Kebebasan akademik umumnya juga dikekang. Padahal kebebasan akademik dahulu amat dihormati dan meskipun ada perdebatan mengenai rasionalisme, tapi mereka tidak pernah mengabaikan rasionalisme yang merupakan rumah bagi logika dan intelektualitas," jelasnya.

Professor Mohammad Abdalla
Profesor Mohammad Abdalla, Direktur Center for Islamic Thought and Education (CITE) University of South Australia (UniSA).

Iffah Nur Arifah

Menurutnya kondisi ini menyebabkan perkembangan iptek di negara-negara Islam mengalami stagnasi dan bahkan tertinggal dari negara-negara barat. Lebih memprihatinkan lagi, katanya, kondisi ini menyebabkan kajian mengenai Islam menjadi bidang ilmu yang kurang menarik.

"Penelitian CITE di sekolah-sekolah Islam di Australia menunjukan salah satu bidang yang paling lemah adalah Kajian Islam. Murid-murid sekolah menengah juga mengaku kajian Islam membosankan, banyak pengulangan dan tidak relevan," jelasnya.

Untuk membalikkan kondisi ini, Prof Abdalla mengatakan institusi pendidikan perlu menyuburkan kembali tradisi berpikir kritis dan penghormatan atas kebebasan akademik. “Untuk bisa maju kita harus berpikir kritis. Kita harus percaya pada riset dan menemukan apa masalah yang sebenarnya terjadi. Setelah itu kita perlu mencari solusinya dan berinvestasi pada solusi tersebut," paparnya.

Panel cendikiawan muslim CITE - UNISA
Panel cendikiawan muslim dari Centre for Islamic Thought and Education (CITE) UniSA yang menjadi bagian dari delegasi kuliah umum di 5 kota di Indonesia dalam rangka mendorong kerjasama dan kolaborasi dengan perguruan tinggi Islam di Indonesia.

Iffah Nur Arifah

Interkoneksi antarperadaban

Prof Abdalla juga memaparkan bagaimana peradaban Islam masa lalu membangun interkoneksi dengan merangkul peradaban di luar Islam. Sehingga iptek menjadi alat yang mempersatukan bukan mengkotak-kotakan masyarakat.

"Ketika peradaban Islam mulai meluas dan akhirnya bersentuhan dengan peradaban Yunani, tidak terkecuali hasil karya dari pemikir Yunani seperti Aristoteles dan lain-lain. Mereka bisa saja menolak dan menghancurkan karya-karya ilmiah dan intelektual peradaban Yunani mengingat perbedaan prinsip yang kontras antara Yunani dan Islam," katanya.

“Tapi sebaliknya, yang dilakukan peradaban Islam ketika itu justru memilih sikap ‘mari kita luruskan pengetahuan mereka'. Dan kemudian dimulailah pergerakan intelektual melalui gerakan penerjemahan karya ilmiah Yunani dari Bahasa Latin ke Bahasa Arab yang berlangsung selama 300 tahun.”

“Pesannya adalah, penting untuk belajar dari orang lain. Tapi kita harus memfilter pembelajaran itu melalui cara pandang Islam yang tidak melihat dunia secara hitam putih, tapi sebagai sesuatu yang saling terhubung dan kita harus bekerja bersama untuk meningkatkan martabat manusia.”

Kuliah umum pemberdayaan umat melalui pendidikan
Peserta kuliah umum panel cendikiawan muslim dari Universitas South Australia di Kedutaan Besar Australia Jakarta (9/5) membahas pemberdayaan umat melalui pendidikan.

Iffah Nur Arifah

Diskusi ini merupakan rangkaian kegiatan delegasi intelektual Muslim dari CITE UniSA selama dua pekan di Indonesia. Mereka menggelar 12 diskusi di sejumlah perguruan tinggi Islam di Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogjakarta dan Makassar. Di Jakarta CITE juga menandatangai MOU kerja sama dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.

Selain Prof Abdalla, hadir juga peneliti dari CITE -UniSA seperti Dr Nada Ibrahim yang berbicara mengenai peran intelektual muslim perempuan, Dylan Chown dengan topik pendidikan di sekolah-sekolah Islam, Dr Nezar Faris mengenai Leadership dalam Islam serta Mahmood Nathi mengenai kajian ekonomi keuangan Islam.

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/studi-nad-inovasi/kuliah-umum-cite-unisa-di-jakarta/8516742
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement