REPUBLIKA.CO.ID, MOSUL - Pasukan khusus Irak mengumumkan misi mereka di Mosul hampir selesai setelah beberapa distrik terakhir di wilayah barat berhasil direbut kembali dari ISIS. Sejumlah pertempuran saat ini masih berkecamuk di beberapa desa dan memaksa ratusan warga sipil untuk melarikan diri setiap hari.
Juru bicara Pasukan Khusus Irak, Sabah al-Numan, mengatakan ISIS hampir 'game over' di Mosul dan pasukannya telah menyelesaikan misi awal mereka. Namun mereka menyatakan siap untuk mendukung pasukan lain jika diperintahkan oleh Perdana Menteri.
ISIS, yang merebut Mosul pada Juni 2014, masih menguasai sekitar delapan kilometer persegi Mosul barat. Beberapa pertempuran terakhir yang paling sengit dan paling parah diperkirakan akan terjadi di jalan-jalan sempit yang tidak bisa dilalui tank.
Pertarungan untuk merebut kembali kota tersebut dari ISIS dimulai pada November lalu oleh pasukan pemerintah Irak, Peshmerga Kurdi, dan koalisi pimpinan AS. Pertempuran itu sejauh ini telah mengungsikan sekitar 700 ribu orang.
PBB telah memperingatkan, sebanyak 200 ribu lebih warga bisa kembali melarikan diri dari Mosul saat pasukan Irak memasuki kubu terakhir ISIS bersama pasukan koalisi pimpinan AS. "Ketika operasi militer meningkat dan bergerak mendekati area Kota Tua Mosul, kami memperkirakan hingga 200 ribu lebih penduduk akan melarikan diri," kata Lise Grande, Koordinator Kemanusiaan PBB untuk Irak, dikutip The Independent.
"Jumlah warga yang bergerak sekarang begitu besar, semakin sulit untuk memastikan warga sipil itu dapat menerima bantuan dan perlindungan yang mereka butuhkan," tambah dia.
Human Rights Watch mengatakan tentara Irak dan pejabat keamanan setempat telah memaksa lebih dari 300 keluarga pengungsi untuk kembali ke distrik-distrik di Mosul yang masih berisiko diserang oleh ISIS.
"Keluarga-keluarga ini seharusnya tidak dikembalikan secara paksa ke daerah-daerah yang tidak aman dan daerah-daerah yang kekurangan pasokan air, makanan, listrik, tanpa layanan kesehatan yang memadai," kata Direktur Jenderal Human Rights Watch, Lama Fakih.