REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Timur Tengah dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta, Asep Kamaluddin mengatakan, mencermati Amerika Serikat (AS), siapapun presidennya pasti mempunyai misi yang sama meski memandang dunia Islam dengan gaya yang berbeda.
"Obama saat jadi Presiden AS gayanya memang kalem tapi dia menjatuhkan bom-bom di Timur Tengah. Sedangkan Donald Trump gayanya arogan dan blak-blakan malah lebih mudah dibaca, tak jauh beda, Trump juga punya obsesi membangun new order di bawah komando AS," katanya kepada Republika.co.id, Ahad, (21/5).
Trump mencoba menutupi agenda terselubung dengan mengatasnamakan perdamaian dan anti radikalisme. Namun sesungguhnya ingin membangun new order di bawah AS.
Kalau soal ISIS, ujar Asep, negara-negara Islam semua juga tak setuju dengan keberadaan ISIS. Namun melalui stempel radikal dikhawatirkan AS menghabisi organisasi-organisasi yang lain, yang tak mengikuti aturan main AS.
Padahal organisasi-organisasi tersebut hanya membela kepentingan nasional dan negaranya misalnya Hamas di Palestina yang dicap radikal oleh AS.
"Nanti ujung-ujungnya hanya seperti era Bush, negara-negara akan dikelompokkan radikal dan tak radikal. Negara pro AS akan jadi pengikutnya, sedangkan yang tak pro AS akan dicap sebagai negara radikal atau negara pendukung radikalisme," kata Asep.
Faktanya stempel radikal itu disematkan oleh negara besar ke negara kecil. Tak semua negara mau ikut Amerika seperti Iran. Suriah juga lebih memilih ikut Rusia.
"Selama ini AS memang menghindari persatuan Arab. Makanya negara di Timur Tengah dikotak-kotakkan sesuai kepentingan AS."
Irak, lanjutnya, dulu diinvasi AS agar jadi negara demokrasi. Sekarang bukan jadi demokrasi tapi malah setiap hari ada bom bunuh diri.
Asep berharap, Indonesia bisa berada di tengah meski selama ini sering condong ke barat. "Indonesia jangan selalu mengikuti skenario mereka sebagai negara Muslim terbesar dan jadi harapan perkembangan Islam."