REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Tahanan politik Cina yang juga peraih Nobel, Liu Xiaobo, wafat di usia 61 tahun pada Kamis (13/7). Menurut laporan sejumlah media asing, aktivis demokrasi itu meninggal di dalam tahanan Cina.
Xiaobo meninggal karena kanker hati, setelah menghabiskan hampir seperempat dari usianya di balik jeruji besi di Cina. Semasa hidupnya, lelaki itu dikenal aktif memperjuangkan perlawanan tanpa kekerasan untuk mengakhiri kekuasaan ‘tirani’ di negeri tirai bambu.
Oleh pemerintah Cina, dia dijatuhi hukuman 11 tahun penjara karena menuntut dihapuskannya sistem politik satu partai di negara itu. Ketika menerima vonis tersebut pada Mei lalu, Xiaobo didiagnosis menderita kanker hati stadium akhir.
Seperti dilansir dari laman The Guardian, Liu Xiaobo meninggal karena beberapa kegagalan organ saat berada di bawah pengawasan aparat pemerintah di sebuah rumah sakit yang terletak di kawasan timur laut Cina. Peristiwa kematiannya sekaligus menjadikan Xiaobo sebagai pemenang hadiah Nobel perdamaian pertama yang mati dalam tahanan, sejak meninggalnya Carl von Ossietzky (penerima penghargaan serupa pada 1935) yang bertahun-tahun tinggal di Kamp Konsentrasi Nazi Jerman.
Akibat kabar kematian Xiaobo, pemerintah Cina kini harus menghadapi rentetan kritik dari dunia internasional. Apalagi, saat menghabiskan sisa hidupnya, Xiaobo tengah berjuang keras melawan penyakit berat yang diidapnya.
Berita tentang kematian pejuang demokrasi tersebut memicu reksi dari sejumlah pemimpin dunia. Kanselir Jerman, Angela Merkel, memberikan penghormatan kepada Xiaobo dengan menyebutnya sebagai ‘pejuang yang berani membela hak-hak sipil dan kebebasan berpendapat’.
Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson, juga menyatakan rasa belasungkawanya. Menurut dia, dunia kini kehilangan seseorang yang telah mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan negaranya dan umat manusia, sosok yang berjuang mengejar keadilan dan kebebasan.
Sementara, pemimpin Komite Nobel Norwegia, Berit Reiss-Andersen, mengecam keras cara Cina memperlakukan Xiaobo. Menurut dia, pemerintah Cina harus bertanggung jawab karena mencegat Xiaobo bepergian ke luar negeri untuk mendapatkan perawatan medis yang layak, sehingga menyebabkan kematian yang terlalu dini.
“Sangat disayangkan, Liu Xiaobo tidak dipindahkan ke fasilitas di mana dia dapat menerima perawatan medis yang memadai sebelum sakitnya bertambah parah,” kata Reiss-Andersen.
Liu Xiaobo dianugerahi hadiah Nobel perdamaian Pada 2010 atas perjuangan panjangnya yang tanpa kekerasan dalam membela hak asasi manusia di Cina. “Saya mempersembahkan hadiah (Nobel) ini kepada jiwa-jiwa yang hilang pada tanggal 4 Juni (para korban dalam peristiwa Pembantaian di Lapangan Tiananmen),” ujar Xiaobo saat mengetahui dirinya memenangkan penghargaan bergengsi tersebut.