REPUBLIKA.CO.ID, DOHA – Negara-negara Teluk yang berusaha untuk mengubah jalur politik Qatar memberikan petunjuk kuat bahwa mereka berencana untuk mengusir Qatar dari Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), kelompok perdagangan dan keamanan regional. Hal itu terlihat dalam pidato Menteri Luar Nehgeri Uni Emirat Arab Anwar Gargash pada Senin (17/7) waktu setempat.
“Anda tidak dapat menjadi bagian dari organisasi regional yang berdedikasi untuk memperkuat keamanan bersama dan memajukan kepentingan bersama, dan pada saat yang sama merusak keamanan dan merugikan kepentingan tersebut. Anda tidak dapat menjadi teman sekaligus teman Alqaidah,” kata Gargash dalam pidato tersebut, menurut The Guardian, Senin (17/7).
Dia akan mendesak boikot Qatar yang telah beralngsung selama enam pekan itu mulai bekerja. Selain itu dia juga menolak saran dari keempat sekutu anti-Qatarnya, yaitu Arab Saudi, Mesir, Bahrain dan UEA sendiri, telah salah perhitungan, dengan mengklaim Doha telah membuat konsesi. Gargash mengklaim bahwa hasil langsung dari tekanan blokade tersebut adalah janji pribadi Qatar kepada kekuatan barat, bahwa mereka akan meninjau daftar 59 daftar eksremis yang diklaim UEA berada di Doha. UEA juga menginginkan agar para tokoh tersebut ditangkap atau diusir, bersama dengan 12 organisasi yang telah disebutkan.
Keputusan Qatar pekan lalu untuk menandatangani nota kesepemahaman mengenai pendanaan teroris dengan AS telah dipuji sebagai perkembangan positif oleh menteri luar negeri tersebut. Namun, keseluruhan nada pidatonya yang disampaikan di Chatham House, London, tidak kompromi dan berisi klaim bahwa Qatar mendanai Kelompok Pertarungan Islam Libya (LIFG), kelompok jihad yang melatih pembom bunuh diri Manchester.
Pidato tersebut tentu mengecewakan suksesi para menteri luar negeri barat yang telah datang ke Teluk untuk menengahi perselisihan tersebut. Mereka semua telah memperingatkan bahwa konfrontasi tersebut mengancam ketidakstabilan jangka panjang dan investor dapat menariknya jika tidak dapat diselesaikan dengan cepat. Hal ini dapat menimbulkan kerusakan ekonomi jangka panjang.
“Maklum banyak teman kita di Eropa dan sekitarnya khawatir dengan krisis ini. Mereka melihhat Teluk Arab sebagai tempat kestabilan di Timur Tengah yang tidak stabil, dan sebagai pasar umum yang penting dan berfungai. Banyak yang berpendapat bahwa ini adalah salah satu dari sedikit benteng Arab yang menentang ekspansi Iran lebih jauh. Kami memahami dan kenghargai kekhawatiran tersebut,” kata Gargash.
“Tapi seperti yang kita ketahui dari pertemuan dengan pejabat AS dan Eropa, mereka juga menyadari adanya kepalsuan Qatar.”
Dia juga mengklaim bawha Qatar memang bukan jihadis, tapi melihat kesempatan untuk mengamankan pengaruhnya. “Mereka percaya bahwa gerakan ekstremis Islam akan mendominasi Timur Tengah dan mereka ingin secra oportunis memanfaatkan mereka sebagai sekutu,” ujarnya.
“Ini adalah kebijakan yang salah, didorong oleh uang dan ambii yang tidak masuk akal. Qatar dengan bodoh mencoba mengendarai harimau jihadisme.”
Gargash menolak bahwa blokade Qatar dimotivasi oleh perbedaan dengan negara-negara Teluk lainnya mengenai Ikhwanul Muslimin, dengan bersikeras bahwa 59 orang dan 12 organisasi termasuk di dalamnya yang terbukti terkoneksi dengan Alqaidah dan organisasi serupa. Meski demikian, Qatar membantah mensponsori ekstremisme.
Mereka mengatakan, bahwa tindakan tersebut melawannya bertujuan untuk mencekik kebijakan luar negeri yang telah mengukir rute yang lebih independen daripada tetangganya di Teluk selama Arab Spring dan termasuk langkah Qatar bekerja sama dengan Iran untuk berbagi ladang gasnya.