REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Aktivis prodemokrasi sekaligus penasihat negara Myanmar Aung San Suu Kyi memiliki kesempatan terakhir untuk berperan dalam menyelesaikan konflik dan kekerasan yang terjadi terhadap warga Rohingya. Sekretaris PBB Antonio Guterres menekankan bahwa tindakan itu harus dilakukan sekarang, tanpa pengecualian.
"Jika dia tidak bertindak sekarang, tragedi kemanusiaan yang terjadi di Rakhine akan menjadi sesuatu yang sangat mengerikan," ujar Guterres, dilansir BBC, Ahad (17/9).
Kekerasan yang terjadi pada warga Rohingya, tepatnya mereka yang berada di Rakhine pada 25 Agustus lalu bermula dari adanya sebuah serangan 30 pos keamanan polisi. Pasukan militer Myanmar saat itu mengatakan ada ratusan orang yang diyakini sebagai kelompok militan asal etnis tersebut membawa senjata dan menggunakan bahan peledak untuk menyerang.
Pertempuran antara pasukan keamanan Myanmar dan penyerang kemudian terus berlanjut. Tak hanya itu, tentara negara juga melakukan operasi keamanan di desa-desa yang menjadi tempat tinggal penduduk dari etnis tersebut di sejumlah desa dan wilayah Rakhine.
Situasi di negara bagian Myanmar itu semakin memburuk dengan adanya laporan pembakaran desa-desa yang menjadi tempat tinggal warga Rohingya di sana. Kelompok aktivis Human Rights Watch mengatakan banyak bangunan dan area lingkungan warga, khususnya di Maungdaw, wilayah utara negara bagian itu yang terlihat terbakar dan ditunjukkan melalui media sosial.
Diperkirakan lebih dari 400 orang yang tewas dalam kekerasan terbaru di Rakhine dan kebanyakan adalah warga Rohingya. Selain itu hingga saat ini tercatat ada 370 ribu dari mereka yang mayoritas Muslim tersebut melarikan diri ke Bangladesh. Namun, tak sedikit diantaranya yang mengalami luka parah karena tembakan yang dilepas oleh pasukan militer Myanmar dalam perjalanan mereka.
Selama ini warga Rohingya diyakini menjadi salah satu etnis minoritas Myanmar yang kerap menjadi korban kekerasan dari pemerintah negara itu. Lebih dari 140 ribu diantaranya yang tewas sejak terjadi konflik di Rakhine, tempat kebanyakan etnis tersebut menetap.
Kekerasan yang terjadi terhadap warga Rohingya pertama kali terdengar pada 2012 lalu. Operasi militer yang dilakukan oleh tentara Myanmar saat itu telah membuat lebih dari 120 ribu warga etnis tersebut harus berada di kamp pengungsi di Rakhine.
Hingga kemudian kasus ini kembali mencuat pada Oktober 2016, di mana menyebabkan sekitar 70 ribu warga etnis itu melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari operasi militer Myanmar di Rakhine.
Pemerintah Myanmar telah mengakui bahwa setidaknya 176 desa di Rakhine yang menjadi tempat tinggal warga Rohingya saat ini benar-benar tidak dihuni. Mereka seluruhnya diperkirakan telah melarikan diri.
Guterres sebelumnya juga mengatakan bahwa ada kemungkinan besar warga Rohingya adalah pembersihan etnis. Karena itu, ia menekankan bahwa Suu Kyi memiliki kesempatan terakhir saat ini untuk membalikkan keadaan di Rakhine.
"Jika dia tidak membalikkan keadaan sekarang, maka saya pikir tragedi ini akan sepenuhnya benar-benar mengerikan karena saya tidak bisa melihat bagaimana upaya ini dapat dilakukan di masa depan," jelas Guterres.
Suu kyi menjadi salah satu peraih nobel perdamaian yang pernah menghabiskan waktu bertahun-tahun berada di dalam tahanan rumah. Ia mendapatkan penghargaan itu atas usahanya memperjuangkan demokrasi di Myanmar.
Meski demikian, dalam konflik di Rakhine ia dinilai tidak dapat berperan apapun untuk memulihkan dan menghentikan kekerasan bagi warga Rohingya. Ia juga mengklaim bahwa apa yang terjadi adalah sebuah situasi terdistorsi, di mana terdapat banyak pihak yang tak melihat apa yang terjadi sebenarnya karena kesalahan informasi.
Ketegangan yang terjadi menurut Suu Kyi merupakan propaganda oleh kelompok teroris di Rakhine. Ia membantah bahwa Pemerintah Myanmar melakukan pembersihan etnis terhadap Rohingya, serta bentuk pelanggaran hukum lainnya, termasuk tindakan sewenang-wenang apapun.