Jumat 20 Oct 2017 12:09 WIB

Mufti Turki Kini Berwenang Sahkan Pernikahan Sipil

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ani Nursalikah
Pernikahan Ilustrasi
Foto: Republika/Prayogi
Pernikahan Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Parlemen Turki telah mengeluarkan undang-undang (UU) yang mengizinkan mufti mengesahkan pernikahan sipil. Mufti diberi kapasitas yang sama dengan pejabat lain yang berwenang melakukan pengesahan semacam itu.

Partai Keadilan dan Pembangunan (Partai AK) yang berkuasa di parlemen mengadopsi UU baru itu pada Rabu (18/10). Mereka mengatakan, UU baru tersebut akan mengurangi jumlah pernikahan yang tidak terdaftar.

 

Namun sejumlah kritikus, termasuk partai oposisi dan kelompok hak asasi perempuan, melihat langkah tersebut sebagai langkah yang akan melemahkan sekularisme Turki. Menurut mereka, UU ini hanya akan meningkatkan jumlah pernikahan anak-anak.

 

"Anda menginginkannya atau tidak, (UU) ini tetap akan disahkan oleh parlemen. Kami mendukung pernikahan terdaftar, bukan pernikahan yang tidak terdaftar, dan (UU) ini akan mengurangi pernikahan yang tidak terdaftar itu," ujar Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pekan lalu, dikutip Aljazirah.

 

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata Turki, pihak yang diberi wewenang untuk mengesahkan pernikahan sipil adalah pejabat kota, kepala desa, dan misi luar negeri. Sekarang, mufti telah ditambahkan ke dalam daftar itu.

 

KUH tersebut menuliskan, penduduk yang ingin menikah harus telah mencapai usia 18 tahun. Batas usia bisa dikurangi menjadi 17 tahun bila ada izin dari orang tua atau ada putusan dari pengadilan dalam kasus tertentu. UU baru yang dikeluarkan parlemen tidak melakukan perubahan mengenai usia pernikahan yang sah.

 

Selain melaksanakan pernikahan sipil, Muslim di Turki juga melakukan pernikahan secara agama. Pernikahan ini biasa dilakukan oleh para imam, tidak ilegal dan dapat dilakukan sesuka hati. Namun mereka yang menikah secara agama tidak memiliki status yang mengikat secara hukum.

 

Di daerah pedesaan Turki, tidak jarang beberapa orang mengadakan pernikahan secara agama tanpa melakukan pernikahan sipil. Pernikahan agama rentan merugikan pasangan, terutama perempuan karena tidak memiliki akses terhadap hak hukum seperti yang diberikan oleh pernikahan sipil.

 

Berbicara di hadapan parlemen, juru bicara pemerintah Bekir Bozdag mengatakan UU baru ini akan mencegah pernikahan yang dilakukan hanya secara agama. "Orang-orang akan menyembunyikan pernikahan ini. Kami berusaha mencegahnya," katanya, Selasa (17/10).

 

Bozdag menegaskan, UU baru tersebut tidak ditujukan untuk mengganti pernikahan secara agama dengan pernikahan sipil. UU ini hanya menambahkan kategori baru pejabat yang berwenang untuk mengesahkan pernikahan sipil, yaitu mufti.

 

Meski demikian, pertentangan tetap ada dari Republican People's Party, yang dengan tegas menolak undang-undang tersebut. Mereka telah mengumumkan rencana menuntut pembatalan UU itu di Mahkamah Konstitusi.

 

Sementara pengacara Istanbul Bar Association's Women's Rights Centre, Aydeniz Alisbah Tuskan mengatakan UU tersebut akan meningkatkan jumlah pernikahan anak di Turki. "Akan sulit memantau perkawinan sipil yang dilakukan oleh mufti," ujar Tuskan.

 

Menurut data PBB, 15 persen perkawinan yang dilakukan di Turki antara 2008 hingga 2014, dilakukan sebelum satu atau kedua pasangan berusia 18 tahun. Tuskan juga mengatakan, UU baru tersebut melanggar pasal ke-174 Konstitusi, yang mengatakan pernikahan harus dilakukan oleh pejabat resmi sekuler.

 

"Pendaftar pernikahan dilakukan kepala desa yang ditugaskan untuk melakukan perkawinan sipil di desa-desa. Orang-orang ini bekerja di bawah Kementerian Dalam Negeri. Mufti, yang bekerja di bawah Direktorat Agama secara konstitusional tidak diperbolehkan untuk mengesahkan pernikahan. Mereka hanya menangani masalah agama," jelas Tuskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement