Ahad 29 Oct 2017 01:05 WIB

Presiden Katalan yang Dipecat Madrid Serukan Oposisi

Presiden Katalunya Carles Puigdemont bertepuktangan usai voting pendeklarasian kemerdekaan Katalunya.
Foto: Manu Fernandez/AP
Presiden Katalunya Carles Puigdemont bertepuktangan usai voting pendeklarasian kemerdekaan Katalunya.

REPUBLIKA.CO.ID, MADRID -- Presiden Katalan yang dipecat Carles Puigdemont pada Sabtu (28/10) menyerukan "oposisi demokratis" atas aksi pengambilalihan Madrid pada wilayah tersebut menyusul deklarasi kemerdekaannya. "Sangat jelas bahwa bentuk terbaik untuk mempertahankan keberhasilan yang dicapai sampai sekarang adalah oposisi demokratis terhadap pasal 155," kata Puigdemont dalam sebuah pernyataan singkat.

Spanyol jatuh ke dalam kemelut pada 1 Oktober ketika Katalonia, sebuah negara bagian di wilayah timur laut, yang menyumbangkan sekitar 20 persen dari produk domestik bruto Spanyol, mengadakan referendum kemerdekaan, meskipun pengadilan telah menyatakan bahwa penyelenggaraan tersebut melanggar hukum. Katalan menyatakan kemenangan meski tingkat partisipasinya hanya 43 persen.

Gejolak politik di Spanyol meningkat pada Jumat (27/10) setelah pemerintah Madrid menolak presiden dan parlemen Katalunya beberapa jam setelah wilayah tersebut mengumumkan kemerdekaan. Spanyol kemudian memecat kepala kepolisian daerah Katalonia Josep Lluis Trapero, sebagai bagian dari tindakan pemerintah di Madrid, yang menguasai daerah mandiri tersebut, untuk menghentikan dorongan terhadap terwujudnya kemerdekaan.

Madrid memecat Pemerintah Katalan, dengan mengambil alih jalannya pemerintahan dan menyebut akan melakukan pemilihan baru setelah parlemen wilayah tersebut mengumumkan kemerdekaannya. Terdapat keraguan tentang bagaimana Mossos d'Esquadra, sebutan untuk kepolisian daerah Katalan, akan menanggapi jika diperintahkan untuk mengusir pemimpin Carles Puigdemont dan pemerintahannya yang telah dipecat.

Dalam upaya meredakan ketegangan, kepolisian daerah tersebut mendesak anggotanya untuk bersikap netral dan tidak memihak. Trapero menjadi pahlawan bagi kelompok pro kemerdekaan setelah pasukannya mengambil sikap yang lebih lembut daripada kepolisian nasional. Ini dalam menegakkan sebuah larangan pemerintah untuk melakukan referendum kemerdekaan pada 1 Oktober.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement