REPUBLIKA.CO.ID,DHAKA -- Gelombang pengungsi Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh masih terus berlangsung. Walaupun jumlahnya tidak semasif pada Agustus dan September lalu, pada Kamis (9/11), tercatat lebih dari 200 pengungsi Rohingya tiba di Bangladesh.
Hal ini dikonfirmasi oleh Ariful Islam, penjaga atau petugas perbatasan Bangladesh. Ia mengatakan pada Kamis, sekitar 200 pengungsi Rohingya tiba di pantai di Teknaf, di ujung selatan distrik Cox's Bazar, seperti ditulis Reuters.
Mereka mengatakan memutuskan untuk mengungsi ke Bangladesh karena militer Myanmar masih menggelar operasi militer. Abdus Sabir, warga Rohingya asal Rathedaung, Rakhine, adalah satu di antara 200 pengungsi Rohingya yang baru saja tiba di Bangladesh.
Ia mengungkapkan bahwa tentara Myanmar masih membakar permukiman Rohingya di Rakhine. "Kami melarikan diri karena militer masih membakar rumah-rumah kami," kata Sabir menerangkan.
Kendati memutuskan melarikan diri dari Rakhine, namun nyatanya hal tersebut tak semudah yang dibayangkan. Hasan Shorif, warga Rohingya asal Buthidaung mengatakan bahwa perjalanan dari Rakhine ke pantai di zona perbatasan Bangladesh ditempuhnya hanya menggunakan rakit yang terbuat dari bambu dan jerami plastik.
"Beberapa tukang perahu meminta biaya besar yang tidak kami miliki. Jadi kami membuat kapal kami sendiri dan datang," kata Shorif menerangkan seraya menyampaikan bahwa ribuan orang Rohingya masih terdampar di Pa Nyaung Pin Gyi di mulut sungai Naf.
Lembaga hak asask manusia internasional Human Rights Watch (HRW) telah mendesak para pemimpin dunia untuk segera menyelesaikan krisis kemanusiaan Rohingya. HRW menilai Myanmar layak dibawa ke hadapan Pengadilan Pidana Internasional atas perbuatannya terhadap etnis minoritas di negaranya tersebut.
Direktur HRW di Asia Brad Adams menyinnggung pertemuan KTT ASEAN yang akan digelar di Manila, Filipina pada 13-14 November mendatang. Menurutnya, momen KTT tersebut harus dimanfaatkan oleh para pemimpin negara Asia dan dunia untuk mendiskusikan penyelesaian krisis Rohingya. Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi dijadwalkan akan turut menghadiri pertemuan tersebut.
"Para pemimpin dunia seharusnya tidak pulang dari KTT ini tanpa menyetujui sanksi yang ditargetkan untuk menekan Myanmar untuk mengakhiri pelanggaran serta mengizinkan masuknya pengamat independen dan kelompok bantuan," ucap Adams.
Adams pun mengimbau agar negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang hadir di KTT ASEAN untuk memikirkan langkah-langkah guna membawa Myammar ke Pengadilan Pidana Internasional. Menurutnya keberadaan Pengadilan Pidana Internasional tak lain untuk menangani kasus atau kejahatan terhadap kemanusiaan yang dialami Rohingya di Myanmar.
"Anggota Dewan Keamanan yang menghadiri KTT itu harus mendiskusikan untuk merujuk situasi di Myanmar ke Den Haag," kata Adams.