REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) menangguhkan sementara perjalanan dinas untuk pejabat Amerika ke Negara Bagian Rakhine di Myanmar, pada Kamis (23/11).
Kedutaan Besar AS untuk Myanmar mengatakan penangguhan ini dilakukan di tengah kekhawatiran akan adanya protes setelah Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson menuduh negara tersebut melakukan pembersihan etnis terhadap Muslim Rohingya.
Menteri Luar Negeri Rex Tillerson menyalahkan pasukan keamanan Myanmar dan warga setempat atas penderitaan yang dirasakan warga Rohingya. Meskipun militer Myanmar telah menyalahkan gerilyawan Rohingya karena telah memulai krisis, Tillerson mengatakan tidak ada provokasi yang dapat membenarkan kekejaman yang sangat mengerikan itu.
"Setelah melakukan analisis menyeluruh terhadap fakta-fakta yang ada, jelas situasi di Negara Bagian Rakhine utara merupakan pembersihan etnis terhadap Rohingya," kata Tillerson dalam sebuah pernyataan, Rabu (22/11).
Menurutnya, mereka yang melakukan kekejaman harus dimintai pertanggungjawaban. Dia menambahkan, AS menginginkan penyelidikan penuh dan akan mencari keadilan melalui undang-undang AS, termasuk kemungkinan untuk memberikan sanksi.
Pernyataan tersebut disampaikan setelah proses peninjauan yang panjang oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Peninjauan dilakukan untuk menentukan apakah kekerasan tersebut telah mencapai ambang batas untuk bisa dianggap sebagai pembersihan etnis.
Pada September lalu, PBB telah menyatakan krisis Rohingya adalah contoh dari buku teks pembersihan etnis. Namun, AS belum mau menggunakan istilah itu. Tillerson mengatakan ia memerlukan lebih banyak informasi, sehingga saat itu ia hanya mengungkapkan keprihatinan mendalam terhadap krisis tersebut.
Pekan lalu, Tillerson melakukan perjalanan ke Myanmar dalam kunjungan tingkat tertinggi pertama yang dilakukan oleh pejabat AS sejak Presiden Trump menjabat. Di ibu kota Naypitaw, Tillerson bertemu dengan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi dan Panglima Militer Myanmar Min Aung Hlaing yang bertanggung jawab atas operasi militer di Negara Bagian Rakhine.
"Saya berharap kunjungan ini akan berdampak, terlebih setelah Tillerson menggunakan istilah yang benar untuk menggambarkan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dan saya berharap militer akan lebih banyak mendengarkan, tapi sulit untuk memprediksi bagaimana militer akan bereaksi dan terkadang mereka seperti sama sekali tidak mendengarkan apapun," kata Direktur Arakan Project, Chris Lewa seperti dikutip The Independent.
Departemen Luar Negeri AS juga telah menyelidiki apakah kekerasan di Rakhine telah memenuhi definisi kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida. Namun sejauh ini AS belum membuat keputusan untuk menggunakan istilah itu. Kedua istilah tersebut akan membawa konsekuensi hukum yang signifikan.