REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia Yon Mahmudi mengatakan, daerah-daerah di Semenanjung Sinai memang cocok dijadikan tempat membangun dan mengembangkan basis oleh kelompok milisi. Penilaian ini disampaikan Yon terkait serangan teror yang dilancarkan kelompok bersenjata di Sinai Utara, Jumat (24/11).
Yon menerangkan, dari sisi geopolitik, Sinai merupakan daerah perbatasan antara Mesir dan Israel. Jadi, secara geografis, kata dia, terdapat beberapa wilayah di Sinai yang jauh dari jangkauan militer Mesir.
Di sisi lain, Sinai pun dihuni oleh beberapa suku yang memiliki sikap independen dan terkadang menentang kebijakan pemerintahan Presiden Abdel Fatah el-Sisi. Ia menilai, faktor-faktor ini yang memberi peluang bagi kelompok milisi bersenjata, yang mengklaim menjadi bagian dari ISIS, untuk membangun basis sekaligus melakukan rekrutmen anggota di sana.
"Dari kondisi ini saya melihat cukup rasional kalau eksistensi ISIS menjadi besar di wilayah Semenanjung Sinai. Karena keberadaan ISIS di Irak dan Suriah sudah semakin terkikis. Oleh karena itu Sinai menjadi alternatif basis ISIS baru," kata Yon di Jakarta, Ahad (26/11).
Lemahnya kontrol keamanan oleh otoritas Mesir di Sinai menjadi keuntungan lain bagi kelompok milisi di sana untuk mendapatkan pasokan senjata. "Perpindahan senjata inilah yang saya kira bisa memperkuat eksistensi kelompok milisi yang ada di sana," ujar Yon.
Hal ini terbukti ketika terjadi serangan di sebuah masjid di Sinai. Yon menilai, ketika melancarkan serangan, ISIS memang tak pandang bulu. Mereka dapat menyerang siapa saja yang dianggap bertentangan, baik itu pemerintah, pasukan keamanan, maupun umat Islam sendiri.
"ISIS bisa melakukan apa saja, selama (yang diserang) bukan bagian dari kelompoknya," katanya menerangkan.
Menurut dia, saat ini Pemerintah Mesir harus mulai memfokuskan perhatian keamanan di Sinai. Sebab, selain lemahnya pantauan keamanan di sana, Sinai pun menjadi daerah perebutan kepentingan, khususnya oleh Israel yang berbatasan langsung dengan daerah tersebut.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri KH Muhyiddin Junaidi mengatakan, serangan brutal kelompok militan di Sinai Utara, Jumat (24/11), masih berkorelasi dengan perkembangan politik di Palestina. "Khususnya terkait rekonsiliasi kelompok Fatah dan Hamas," ujarnya, Ahad (26/11).
Kiai Muhyiddin menjelaskan, Israel adalah pihak yang menolak rekonsiliasi tersebut karena dapat meningkatkan soliditas perjuangan bangsa Palestina. Sementara, perubahan sikap Mesir terhadap Hamas secara politik telah mengucilkan Israel.
Di samping itu, menurut dia, Israel yang sejak dulu terus menyuarakan Anti-Hizbullah dan Iran, kini juga telah berhasil menekan Arab Saudi dan menyokong sikap Pangeran Kerajaan Arab Saudi Mohammad bin Salman (MBS) yang akan menghancurkan Hizbullah di Lebanon.
Israel pun telah mengistruksikan seluruh kedutaan besar agar mendukung upaya Saudi memerangi Hizbullah dan Iran. Pengusiran Hizbullah dari Lebanon merupakan strategi untuk memotong jalur suplai persenjataan ke Suriah. "Dana segar ratusan miliar dolar AS hasil pemeresan terhadap para konglomerat Saudi adalah modal awal untuk pembeliaan senjata dan biaya perang urat syaraf di mana sasaran utama adalah mengendalikan Lebanon," katanya.
Ia mengatakan, kerja sama Saudi, Israel, dan Amerika Serikat dalam menekan Iran dan Hizbullah dengan berbagai alasan justru merugikan umat Islam di kawasan dan dunia. "Indonesia yang tak akan mengakui kedaulatan Israel sebelum kemerdekaan Palestina pasti berhadapan langsung dengan Saudi jika Riyadh menjalin hubungan diplomasi dengan Tel Aviv," ujar Kiai Muhyiddin.