Ahad 03 Dec 2017 12:40 WIB

AS Tuding Rusia dan Cina Bangun Senjata Ruang Angkasa

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Reiny Dwinanda
Militer Rusia menjadi ancaman keamanan AS.
Foto: Reuters
Militer Rusia menjadi ancaman keamanan AS.

REPUBLIKA.CO.ID, CALIFORNIA - Kepala Komando Strategis AS, Jenderal John Hyten, mengatakan Rusia dan Cina telah secara aktif membangun senjata ruang angkasa. Senjata tersebut diduga dapat menargetkan aset militer AS, seperti satelit.

"Mereka telah membangun senjata, menguji senjata, membangun senjata untuk beroperasi dari bumi di luar angkasa. Mereka menjaga itu tetap rahasia," kata Jenderal Hyten, di Simi Valley, California, Sabtu (2/11).

Hyten menuding, Rusia dan Cina mencoba membangun kemampuan untuk menantang Amerika Serikat dan sekutunya lewat pembangunan senjata ruang angkasa tersebut.

Kerja sama militer tersebut ada untuk mengubah keseimbangan kekuatan di dunia, Hyten memprediksi.

"Kami tidak bisa membiarkan hal itu terjadi," ujar Hyten, yang mengawasi semua operasi militer AS di luar angkasa, dikutip CNN.

Menurutnya, Rusia dan Cina telah melihat cara militer AS memanfaatkan satelit dengan baik selama operasi militer, seperti Perang Teluk 1991. Mereka saat ini mencari cara untuk melawan kemampuan AS untuk menggunakan satelit dalam konflik di masa depan.

Salah satu aset berbasis ruang yang rawan adalah satelit yang memperingatkan perencana militer AS akan peluncuran rudal musuh.

"Setiap rudal yang keluar dari planet ini pertama-tama akan dilihat oleh salah satu kemampuan peringatan rudal tersebut. Satelit ini tidak mudah untuk dipertahankan," ungkap Hyten.

Ia telah menganjurkan untuk membuat satelit yang dapat lebih dipertahankan. Namun, ia mengakui saat ini tidak ada peraturan keterlibatan luar angkasa dalam konflik militer dan karenanya, norma-norma internasional sangat dibutuhkan.

Sekretaris Angkatan Udara, Heather Wilson, mengatakan AS perlu mengadopsi kebijakan baru.

AS juga perlu menegaskan jika satelit telah menjadi target serangan, maka AS akan menganggapnya sebagai tindakan permusuhan dan meresponsnya.

"Ini mungkin saatnya negara kita mulai membicarakan hal tersebut," kata Wilson.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement