REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG -- Pemerintah Korea Utara (Korut) menegaskan segala bentuk pemberlakuan blokade maritim akan menjadi tindakan perang. Pyongyang mengatakan, isolasi tersebut akan mendorong kebuntuan saat ini menuju konfrontasi nuklir.
Seperti dilaporkan Aljazirah yang mengutip kantor berita KCNA, Jumat (15/12) pejabat tinggi Korut mengatakan, koalisi yang dipimpin AS telah memperkeruh situasi di Semenanjung Korea. Korut menilai Donald Trump telah bertindak gegabah tanpa alasan yang jelas.
"Blokade laut merupakan tindakan ceroboh yang melanggar kedaulatan serta martabat negara merdeka, dan tindakan perang agresi yang tidak dapat ditolerir," kata seorang pejabat Korut.
Blokade laut terjadi usai uji coba rudal balistik antar-benua (ICBM) Hwasong-15 yang dilakukan pada 29 November lalu. Korut mengklaim rudal itu bisa menghancurkan setiap daerah di AS. Penutupan akses diberlakukan untuk melarang segala bentuk kebijakan lalu lintas perairan baik dari maupun ke Korut.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson akan mengadakan pertemuan khusus bersama Dewan Keamanan PBB guna membahas program nuklir Korut. Pyongyang menilai pertemuan itu merupakan langkah putus asa yang dilakukan Amerika.
Tillerson mengatakan, AS siap untuk berdiskusi dengan Korut tanpa prasyarat apapun asalkan mereka bersedia menghapus program nuklirnya. Namun jika sebaliknya, Tillerson akan meminta para pemimpin dunia untuk mengisolasi Korut dengan berbagai sanksi, baik ekonomi maupun militer.
Presiden Rusia Vladimir Putin memuji tawaran Tillerson untuk Presiden Korut Kim Jong-un. Dalam sebuah konferensi pers di Moskow, Putin menilai langkah itu menunjukan kemajuan bagi AS atas kesadaran realitas.
Putin mengatakan, Korut merasa terancam oleh AS dan tidak memiliki pilihan selain mengembangkan senjata pemusnah massal agar mampu bertahan. "Kami percaya bahwa kedua belah pihak perlu berhenti untuk memperparah situasi, Korut merupakan negara tertutup, cukup untuk satu tembakan rudal dan konsekuensinya akan menjadi bencana besar," kata Putin.