Diperkirakan akan lahir 50 ribu bayi di kamp pengungsi warga Rohingya yang penuh sesak di Bangladesh tahun ini.
Jumlah ini kalau di Australia hampir sama dengan jumlah penduduk seluruh kota seperti di Wagga Wagga, Coffs Harbour di New South Wales atau di Bundaberg di Queensland.
Sebagian dari bayi ini karena korban perkosaan, namun semuanya lahir di pemukiman yang memiliki sanitasi buruk dimana mereka berpotensi terkena penyakit atau mengalami kekurangan gizi.
Para pekerja kesehatan di kamp pengungsi itu berusaha keras membantu agar bayi-bayi bisa bertahan hidup, namun banyak diantaranya akan meninggal sebelum mereka mencapai usia lima tahun.
Sejak militer Myanmar empat bulan lalu melancarkan operasi militer sebagai balasan dari tindakan kelompok militan Rohingya menyerang pos militer dan polisi Myanmar, jumlah warga yang mengungsi dan melintas masuk ke Bangladesh mencapai angka hampir 655 ribu orang.
Sekarang diperkirakan ada 870 ribu warga Rohingya yang tinggal di kamp pengungsian dan lima persen diantara mereka sedang hamil.
Rachel Cummings dari Lembaga Save the Children mengatakan hampir semua perempuan ini akan melahirkan di tenda yang sekarang mereka sebut sebagai rumah.
"Rumah-rumah mereka ini betul-betul memprihatinkan." katanya. "Hanya ada akses terbatas untuk mendapatkan air bersih, sehingga kondisi kebersihan bagi bayi-bayi yang lahir sangat-sangat menantang."
Ini bukan tempat yang baik untuk melahirkan
Cummings ditugaskan mengurusi masalah kesehatan bagi para pengungsi Rohingya dan masalah kesehatan ibu menjadi salah satu hal yang paling menantang di kamp pengungsian ini.
"Ini bukan yang tempat yang baik bagi seorang anak untuk dilahirkan." katanya.
"Dari awal mereka sudah akan berjuang, hidup di lingkungan yang penuh sesak, dimana semua orang berusaha bertahan hidup."
Di kalangan warga muslim Rohingya yang konservatif ini, perempuan sangat mementingkan privasi ketika melahirkan.
Tidak jarang bagi seorang perempuan untuk tidak keluar rumah selama 40 hari setelah melahirkan.
Perempuan yang lebih tua kadang berperan sebagai bidan, dan Save the Children mencoba mengajari mereka dengan peralatan kebersihan sederhana sehingga resiko infeksi dan penyakit bisa dikurangi.
Memang ada fasilitas kesehatan di kamp pengungsi tersebut, namun mengunjungi salah satu diantaranya tidak mudah.
"Melihat keadaan wilayah berbukit-bukit dan juga jarak, bagi para perempuan ini untuk melakukan perjalanan dari tenda mereka ke fasilitas kesehatan memerlukan perjuangan." kata Cummings.
"Daerahnya berbukit, dan bila hujan, maka akan sangat becek, dan berlumpur."
"Kalau dalam, ini akan menjadi perjalanan yang sangat tidak aman."
Mulai tanggal 22 Januari, Myanmar akan menerima kembali pengungsi Rohingya, berdasarkan perjanjian pemulangan yang ditandatangani dengan Bangladesh bulan November lalu.
Awal pekan ini, pejabat Myanmar mengatakan dua pusat penerimaan pengungsi yang dibangun untuk memproses kepulangan pengungsi 'sudah hampir selesai."
Sikap resmi adalah bahwa pengungsi Rohingya yang melarikan diri atas kekerasan yang terjadi bulan Agustus lalu akan diterima kembali.
Namun dengan belasan ribu pengungsi di sana menyebut alasan pemerkosaan, pemukulan dan tidak kekerasan lain yang dilakukan militer Myanmar, masih belum jelas apakah ada pengungsi yang akan kembali.
Lihat beritanya dalam bahasa Inggris di sini