REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Uni Eropa meminta Pemerintah Myanmar membebaskan dua wartawan Reuters setelah sebuah sidang pengadilan di Yangon pada Rabu (10/1), tempat jaksa mencoba mendakwa mereka dengan Undang-Undang Rahasia Negara.
Dalam salah satu pernyataannya, Blok 28 negara tersebut, yang merupakan donor signifikan bagi Myanmar, mengatakan, bahwa kasus Wa Lone dan Kyaw Soe Oo merupakan ujian penting bagi komitmen negara tersebut untuk mengembangkan demokrasi setelah bertahun-tahun pemerintahan militer.
"Setelah mendengar dakwaan diajukan berdasarkan Undang Undang Rahasia Negara tahun 1923, kami terus mengharapkan otoritas Myanmar untuk memastikan perlindungan penuh atas hak-hak para wartawan ini dan juga untuk melepaskan mereka secepat mungkin," kata juru bicara Uni Eropa, seraya menambahkan bahwa utusan Uni Eropa telah hadir di pengadilan.
Menggambarkan kebebasan media sebagai "fondasi dan landasan demokrasi apa pun", juru bicara tersebut menambahkan, "Uni Eropa menganggap kasus ini sebagai ujian penting komitmen Myanmar untuk kebebasan pers, peradilan yang independen dan pengembangan institusi demokratis. "
Uni Eropa juga menyoroti bahwa wartawan Reuters itu telah ditangkap sebulan yang lalu sehubungan dengan pelaporan mereka terkait situasi di negara bagian Rakhine dimana ratusan ribu warga Muslim telah melarikan diri dari penindakan militer terhadap militan.
"Uni Eropa mengulangi seruannya pada pemerintah Myanmar untuk memastikan transparansi dan melakukan upaya serius agar bisa menahan pihak pihak yang bertanggung jawab yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia berat dalam konteks krisis yang sedang berlangsung di negara bagian Rakhine," katanya.
Wa Lone, 31, dan Kyaw Soe Oo, 27, telah bekerja untuk media Reuters mengenai krisis di negara bagian Rakhine, di mana -menurut perkiraan Perserikatan Bangsa Bangsa - sekitar 655 ribu Muslim Rohingya telah melarikan diri dari tindakan keras militer terhadap militan.
Para wartawan itu ditahan pada 12 Desember setelah mereka diundang untuk menemui petugas polisi untuk makan malam. Kementerian tersebut mengatakan bahwa mereka "memperoleh informasi secara tidak sah dengan maksud untuk membagikannya dengan media asing" dan menghadapi tuntutan berdasarkan Undang-Undang Rahasia Resmi era kolonial Inggris.
Para wartawan itu telah memberi tahu keluarga mereka bahwa mereka ditangkap segera setelah menerima beberapa dokumen di sebuah restoran dari dua polisi yang belum pernah mereka temui sebelumnya. Keduanya muncul di pengadilan untuk pertama kalinya pada 27 Desember, saat penahanan mereka diperpanjang selama dua minggu lagi. Selama proses pemeriksaan, mereka diizinkan menemui kerabat dan pengacara mereka untuk pertama kali sejak ditangkap.
Pejabat pemerintah dari beberapa negara besar di dunia, termasuk Amerika Serikat, Inggris dan Kanada, serta pejabat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa, telah menyerukan pembebasan para wartawan itu. Kelompok hak asasi manusia Amnesty International juga menyerukan pembebasan segera kedua orang tersebut dan agar kebebasan berbicara dapat dihormati.
"Penangkapan ini tidak terjadi tanpa alasan, tapi terjadi saat pihak berwenang semakin membatasi media independen," kata Amnesty International dalam sebuah pernyataan.