Kamis 01 Feb 2018 06:03 WIB

Takut Ada Boikot, Israel Kecam Laporan PBB

Israel bertekad menghapus daftar hitam yang menjadi laporan PBB tersebut.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Reiny Dwinanda
Pembangunan permukiman ilegal Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Foto: EPA
Pembangunan permukiman ilegal Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Israel khawatir perusahaan yang terdaftar dalam "daftar hitam" Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dapat menjadi sasaran boikot atau divestasi dengan tujuan untuk meningkatkan tekanan atas okupasinya terhadap tanah Palestina. Apalagi, sebagian besar negara dan dunia menganggap pendudukan Israel adalah ilegal. 

Akan tetapi, sampai Rabu (31/1), OHCHR masih menunda publikasi daftar hitam" perusahaan yang menjalankan usaha dengan Israel di wilayah yang dicaplok Israel pada 1967. Israel terus melancarkan lobi intensif agar OHCHR membatalkan bank data tertanggal 26 Januari tersebut.

Dubes Israel untuk PBB, Danny Dannon, mengecam penerbitan laporan interim tersebut. Dia akan berupaya keras agar daftar perusahaan yang dimaksud itu dihapus.

"Di hari PBB memulai Hari Peringatan Holocaust Internasional, UNHRC memilih untuk memublikasikan informasi mengenai jumlah perusahaan yang beroperasi di Israel," ujar Dannon, seperti dilansir Times of Israel, Rabu (31/1).

Dannon mengganggap hal tersebut memalukan dan selamanya akan menodai UNHRC. Dia bertekad untuk menggalang kekuatan bersama sekutuanya untuk menghentikan publikasi daftar hitam itu. "Kami akan terus bertindak bersama sekutu kami dan menggunakan semua sarana yang ada untuk menyetop publikasi daftar hitam yang memalukan ini," ungkapnya.

Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mengidentifikasi ada 206 perusahaan yang menjalankan bisnis terkait dengan pendudukan Israel di Tepi Barat. Namun, nama perusahaan yang termasuk dalam "daftar hitam" itu tak dipublikasikan.

''Sebanyak 144 perusahaan berdomisili di Israel dan 22 di AS. Sisanya berdomisili di 19 negara lain, termasuk Jerman, Belanda, Prancis, dan Inggris'' ungkap OHCHR dalam pernyataannya seperti dikutip Reuters, Rabu (31/1).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement