REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Parlemen Irak, Kamis (1/3), mendesak pemerintah menentukan batas waktu bagi penarikan pasukan asing di negara itu untuk membantu Irak memerangi pemberontak ISIS.
Koalisi pimpinan Amerika Serikat dibentuk pada 2014 dan dukungan pasukan serta kekuatan udara membantu pasukan keamanan Irak serta petempur Suriah pimpinan Kurdi mendepak ISIS di banyak wilayah Irak dan Suriah, juga menghancurkan kekhalifahan antar-perbatasan bentukan pegaris keras tersebut.
Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi menyatakan kemenangan atas ISIS pada Desember. ISIS, sejak itu, berbalik kembali menjalankan pemberontakan secara bergerilya dan terus melancarkan serangan ke sasaran tertentu.
Desakan parlemen Irak itu menggarisbawahi tindakan seimbang yang harus dijalankan Abadi antara Amerika Serikat dan Irak, dua sekutu militer terbesarnya, yang di antara mereka sendiri merupakan musuh bebuyutan. Tidak ada pasukan reguler Iran di Irak tapi milisi Syiah dukungan Iran yang bersekutu dengan pemerintahan Abadi berada di Irak.
"Parlemen telah melakukan pemungutan suara, (yang menghasilkan) keputusan untuk menyatakan terima kasih kepada negara-negara sahabat atas dukungan mereka dalam mengalahkan ISIS dan, pada saat yang sama, meminta pemerintah untuk menentukan batas waktu bagi penarikan pasukan asing," kata anggota parlemen Husham al-Suhail kepada Reuters.
"Terserah pemerintah untuk menentukan berapa lama kita memerlukan waktu bagi penarikan pasukan asing itu. Satu tahun, dua tahun, terserah mereka," katanya.
"Pengambilan waktu untuk pemungutan suara, yaitu sebelum pemilihan, merupakan pesan dari partai-partai pro-Iran bahwa mereka tidak mau pasukan Amerika berada di Irak selamanya," kata pakar politik Ahmed Younis.
"Mereka sedang berupaya mencapai dua hal, yaitu tekanan terhadap pemerintah Abadi untuk mengusir pasukan asing serta mengumpulkan poin politik sebelum pemilihan," katanya.
Koalisi mengatakan telah mulai melakukan peralihan, dari upaya merebut kembali wilayah menjadi memperkuat pencapaian. Koalisi telah melatih 125 ribu anggota pasukan keamanan Irak, yang 22 ribu di antaranya merupakan petempur Peshmerga Kurdi, serta membantu merebut kembali hampir sepertiga wilayah Irak dari ISIS melalui dukungan udara dan logistik.
Namun, koalisi itu mendapat kecaman karena jumlah warga yang menjadi korban serangan udara. Setidak-tidaknya, hingga 2018, 841 warga tewas karena serangan tersebut.