Ahad 11 Mar 2018 05:03 WIB

Ketika Para Biksu Lindungi Muslim Srilanka

Serangan anti-Muslim ini bukan yang pertama kali terjadi di Srilanka.

Aparat keamanan berjaga di dekat rumah yang dirusak massa akibat kerusuhan berbau SARA di Srilanka.
Foto:
Aparat keamanan berjaga di dekat rumah yang dirusak massa akibat kerusuhan berbau SARA di Srilanka.

Kekerasan komunal diduga dimulai ketika seorang pria dari etnis mayoritas Sinhala dipukuli sampai mati oleh pria Muslim karena kecelakaan lalu lintas di kota Teledeniya di Kandy.

Keesokan harinya, ratusan umat Buddha Sinhala berkumpul di distrik tersebut dan menyerang puluhan tempat usaha Muslim, rumah, dan masjid. Banyak bangunan dibakar dalam penyerangan itu.

Kekerasan agama bukanlah hal baru bagi negara kepulauan di Asia Selatan yang berpenduduk 21 juta jiwa tersebut. Kampanye anti-Muslim telah diluncurkan oleh umat Budha garis keras, menyusul kerusuhan mematikan di Aluthgama pada Juni 2014.

Di sisi lain, Presiden Maithripala Siresena telah berjanji untuk menyelidiki kejahatan anti-Muslim setelah mengambil alih kekuasaan pada 2015. Namun, tidak ada kemajuan signifikan yang dilaporkan sejauh ini.

Serangan ini terorganisasi

"Sri Lanka berada di ambang batas," kata Alan Keenan, seorang peneliti di International Crisis Group.

Menurut dia, serangan ini terorganisasi dan terencana. Dan ada alasan bagus untuk percaya mereka sebagian dirancang untuk memancing tanggapan Muslim, yang kemudian akan membenarkan lebih banyak kekerasan terhadap umat Islam.

Alan mengatakan, komunitas Muslim telah menahan diri dengan sangat baik sejauh ini. Namun, jika minoritas membalas dengan menyerang komunitas Sinhala, orang Sinhala lainnya kemudian akan merasa terancam dan berpartisipasi dengan cara yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya.

Di Twitter, dua pemain Kriket legendaris Sri Lanka, Kumar Sangakkara dan Mahela Jayawerdana, memberikan pernyataan keprihatinanannya dan mengutuk tindakan kekerasan yang terjadi di Sri Lanka.

"Saya sangat mengutuk tindakan kekerasan baru-baru ini dan setiap orang yang terlibat harus diadili tanpa membedakan ras/agama atau etnisitas," Jayawardena pada Twitter-nya, Rabu (7/3) lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement