Jumat 20 Apr 2018 14:38 WIB

Oposisi Berebut Tantang Erdogan dalam Pemilihan

Erdogan memutuskan untuk mempercepat jadwal pemilihan presiden dan parlemen

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nidia Zuraya
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
Foto: PA-EFE/KAYHAN OZER
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Oposisi Pemerintah Turki berebut menantang Presiden Recep Tayyip Erdogan dalam pemilu yang akan berlangsung sembilan minggu lagi.

Erdogan telah menjadwalkan pemilihan presiden dan parlemen pada 24 Juni mendatang, satu tahun lebih cepat dari jadwal seharusnya. Langkah ini akan mengantarkan Turki pada sistem pemerintahan baru yang akan memperkuat cengkeraman presiden pada kekuasaan.

Turki beralih dari sistem parlementer ke sistem presidensial eksekutif setelah menyelenggarakan referendum tahun lalu, menyusul upaya kudeta yang gagal pada 2016. Perubahan ini akan berlaku setelah Turki melakukan pemilu, yang semula ditetapkan pada November 2019.

 

Baca juga, Trio Putin-Erdogan-Rouhani Permalukan Arab

Pemilu kali ini akan diselenggarakan di saat oposisi tengah dalam kekacauan. Pemimpin salah satu partai berada di penjara, partai yang lain tidak memiliki kandidat, dan sepertiga partai mungkin tengah menghadapi masalah kelayakan.

Namun, partai-partai oposisi bersikap cukup optimistis. Pemimpin partai oposisi utama, Kemal Kilicdaroglu, menjanjikan pemilihan yang demokratis dan tenang. Sementara Meral Aksener yang dilihat sebagai kandidat terkuat dalam melawan Erdogan, telah bersumpah akan mengalahkan Erdogan yang telah 15 tahun berkuasa.

Para pengamat mengatakan, pemilu mungkin dipercepat untuk memanfaatkan sentimen nasionalis yang semakin tinggi di dalam masyarakat Turki. Sentimen ini meningkat menyusul operasi militer Turki yang sukses dilakukan di Afrin, Suriah, untuk menggulingkan milisi Kurdi dari wilayah perbatasan.

"Fakta bahwa Presiden Erdogan telah meminta diselenggarakan pemilihan umum yang dipercepat, yang merupakan pertama kalinya sejak ia menduduki jabatan, mengindikasikan kepanikan dan kekhawatiran," kata Fadi Hakura, dari lembaga think tank Chatham House.

"Perubahan itu membuat tidak mungkin bagi oposisi untuk memenangkan pemilihan umum di Turki. Perubahan terhadap undang-undang pemilihan ini, saya pikir, akan membuat perlawanan oposisi menjadi sangat mustahil," jelasnya.

Seruan percepatan pemilu juga dibarengi dengan pembelian perusahaan media terbesar di Turki, Dogan Holding, oleh kelompok pro-Erdogan. Hal ini semakin memperkuat cengkeramannya terhadap media di negara itu.

Wakil Perdana Menteri Turki Bekir Bozdag membandingkan oposisi dengan orang-orang yang terjebak dalam hujan di bulan Agustus, tanpa payung. Marhir Unal, anggota senior partai yang berkuasa di pemerintahan, mengatakan jajak pendapat terbaru menunjukkan Erdogan mendapat dukungan sebanyak 55,6 persen.

Partai oposisi utama, Republican People's Party, yang pro-sekuler belum mengumumkan kandidatnya. Pemimpinnya, Kilicdaroglu, mengatakan ia tidak mengesampingkan aliansi dengan partai-partai lain yang mendukung demokrasi dan menentang rezim satu orang.

Partai itu membantah mengalami kesulitan. Kilicdaroglu mengatakan ia memiliki beberapa kandidat kuat dan akan mencalonkan satu orang dalam dua minggu ke depan.

Tetapi sosok yang dianggap sebagai pesaing berat Erdogan sejauh ini adalah Aksener, mantan menteri dalam negeri yang membelot dari nasionalis utama Turki dan membentuk partainya sendiri. Dia telah mengumumkan pencalonannya untuk pemilihan presiden.

Namun kemudian muncul pertanyaan seputar kelayakan Iyi Party yang baru didirikannya. Partai tersebut secara hukum diharuskan menyelesaikan kongres umumnya selama enam bulan sebelum pemilihan diselenggarakan, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan setelah Erdogan menyerukan pemilihan pada Juni mendatang.

"Tidak ada satu pun yang cukup kuat untuk mencegah kami keluar dari pemilihan," kata Aksener dalam rapat umum di Kota Fethiye, Turki selatan, Kamis (19/4).

Partai yang berada dalam situasi paling genting adalah partai pro-Kurdi, People's Democratic Party, yang mantan pemimpinnya, Selahattin Demirtas, dipenjara karena dituduh memiliki hubungan dengan pemberontak Kurdi yang terlarang. Demirtas menghadapi hukuman 142 tahun penjara atas tuduhan memimpin sebuah organisasi teror, terlibat dalam propaganda teror, dan kejahatan lainnya.

Demirtas, yang berada di balik jeruji sejak November 2016, kemudian mengundurkan diri dari jabatan ketua People's Democratic Party. Dia bersaing melawan Erdogan dalam pemilu presiden langsung pertama di Turki pada 2014 dan berhasil memimpin partainya ke parlemen dalam dua pemilihan umum pada 2015. Ketua People's Democratic Party saat ini, Pervin Buldan dan Sezai Temelli, tidak memiliki popularitas sepertinya.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement