REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Karyawan perusahaan percetakan uang kertas di Australia melakukan aksi mogok kerja menuntut kenaikan upah yang lebih besar. Para pekerja di Note Printing Australia (NPA), sebuah anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki bank central Australia atau Reserve Bank of Australia (RBA), mulai berhenti bekerja pada Jumat (25/5).
Mereka menuntut kenaikan gaji sebesar 3,5 persen, dari tingkat rata-rata dua persen yang ditawarkan bank sentral. "Jika penting untuk mengangkat upah di seluruh ekonomi maka ini adalah kesempatan yang sangat baik bagi bank sentral untuk menunjukkan kepemimpinannya. Gubernur Bank Sentral Australia (Philip) Lowe perlu mempraktikkan apa yang saya bicarakan," kata Sekretaris Regional Divisi Cetak di Serikat Pekerja Manufaktur Australia, Tony Piccolo.
Dengan pertumbuhan upah di Australia yang saat ini terjebak dalam keadaan lesu, Gubernur bank sentral Australia (RBA) Philip Lowe baru-baru ini meminta pekerja menuntut kenaikan gaji yang lebih besar. Dia mengatakan upah tahunan rata-rata harus sekitar 3,5 persen untuk mencapai inflasi rata-rata 2,5 persen, di tengah target bank.
Terakhir kali tingkat upah karyawan mengalami pertumbuhan sebesar 3,5 persen adalah pada kuartal ketiga 2012. Piccolo mengatakan ini adalah pertama kalinya dalam kurun waktu 107 tahun pencetakan uang kertas Australia terganggu oleh aksi karyawannya.
RBA menolak mengomentari masalah yang sedang berlangsung, termasuk apakah pemogokan akan berdampak pada ketersediaan mata uang. Piccolo mengatakan serikat pekerja dipersiapkan untuk memperpanjang pemogokan jika manajemen NPA tidak kembali ke "meja perundingan" minggu depan.
NPA memiliki satu-satunya fasilitas pencetakan di Melbourne. Selain uang kertas Australia, perusahaan ini juga mencetak mata uang untuk bank sentral lainnya dengan menggunakan teknologi substrat polimernya.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.