REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Perdana Menteri Malaysia Tun Dr Mahathir Mohamad telah menghidupkan kembali kebijakan luar negeri yang tegas, yang menandai tugas pertamanya berkuasa. Ia berusaha untuk menegosiasikan kembali perjanjian pasokan air yang sudah berjalan lama dengan Singapura.
Dalam sebuah wawancara dengan Haslinda Amin dari Bloomberg Television, Dr Mahathir yang berusia 92 tahun mengkritik kesepakatan pasokan air tahun 1962 dengan Singapura sebagai 'terlalu mahal'. Hal ini tentu menambah ketegangan setelah ia mengumumkan rencana untuk membatalkan proyek kereta api berkecepatan tinggi bernilai miliaran dolar yang akan menghubungkan Kuala Lumpur ke Singapura.
"Air adalah salah satu masalah dengan Singapura yang perlu kita selesaikan," kata Dr Mahathir pada hari Jumat (22/6) di kantornya di Kuala Lumpur. "Kami akan duduk dan berbicara dengan mereka, seperti orang yang beradab."
Singapura memang selama ini bergantung pada negara tetangganya, Malaysia, untuk hampir setengah dari kebutuhan airnya melalui kesepakatan air, yang pertama dimulai pada tahun 1927. Kesepakatan 1962 yang tersisa, yang berakhir pada 2061, memberikan Singapura 250 juta galon air mentah setiap hari pada 3 sen per 1.000 galon, sementara Malaysia membeli kembali sebagian dari itu dengan 50 sen per 1.000 galon.
Pakta ini menjadi sumber perselisihan politik publik, dengan kedua negara bahkan terpaksa memasang iklan satu halaman penuh di surat kabar regional untuk menyuarakan keluhan mereka. Pada satu titik mantan perdana menteri Singapura Lee Kuan Yew mengatakan, dia siap mengirim pasukan ke Malaysia jika mencoba mematikan keran.
Dalam wawancara itu, Dr Mahathir mengatakan, dia akan bersikap ramah dengan Singapura dan negara-negara lain sambil berfokus pada kesepakatan yang adil dan memastikan keseimbangan.
"Saya pikir kita bisa mendapat manfaat satu sama lain," kata Dr Mahathir. “Kami membutuhkan keahlian Singapura. Banyak orang Singapura berinvestasi di Malaysia karena jauh lebih murah di sini.”