REPUBLIKA.CO.ID, PETALING JAYA -- Mahathir Mohammad dan Anwar Ibrahim berdiri berdampingan di hadapan lebih dari 100 anggota parlemen di Dataran Merdeka pada Senin (2/8). Kedua mantan lawan politik tersebut memprotes penundaan sidang khusus parlemen
Saat Anwar menyampaikan pidatonya, secara mengejutkan Mahathir tiba di Dataran Merdeka. Kehadiran Mahathir diumumkan Sekretaris Jenderal PKR Saifuddin Nasution. Para pemimpin partai memberikan jalan bagi mantan perdana menteri tersebut.
Mahathir kemudian berdiri di antara Anwar dan Kepala Parti Warisan Sabah Shafie Apdal, bersama dengan para pemimpin Pakatan Harapan. Mahathir kemudian menyampaikan pidato, yang mengkritik pemerintah karena menunda sidang khusus, dengan alasan perlunya diadakan debat lantara pandemi Covid-19 semakin parah.
Dia juga mengkritik pemerintah karena mencabut Undang-undang Darurat tanpa mendapatkan persetujuan Yang di-Pertuan Agong."Tidak ada aturan hukum di sini. Sangat disayangkan bagi bangsa ini. Rakyat menderita karena pandemi dan kita seharusnya memfokuskan upaya pada rakyat, tetapi tampaknya sekarang ada penekanan pada politik," kata Mahathir, dilansir The Star, Selasa (3/8).
Mahathir juga mengkritik Perdana Menteri Muhyiddin Yassin karena menolak mengundurkan diri dan mempertahankan kekuasaan sebagai perdana menteri. Kemudian, Mahathir bersama Anwar, Shafie, Presiden Parti Amanah Negara Mohamad Sabu dan Sekretaris Jenderal DAP Lim Guan Eng, memimpin kelompok anggota parlemen dalam pawai menuju Parlemen.
Namun, mereka dihentikan tepat di bundaran dekat Padang Merbok oleh personel Federal Reserve Unit (FRU) dan mengikuti perintah untuk membubarkan diri. Pada 2018, kedua pemimpin sepakat membentuk koalisi Pakatan, yang secara historis mengalahkan Barisan Nasional.
Namun, sejak jatuhnya mantan pemerintahan Pakatan pada Februari 2020, Mahathir dan Anwar kembali berselisih. Pemerintahan Perikatan Nasional dibentuk setelah jatuhnya pemerintahan Pakatan selama 22 bulan. Pemerintahan Nasional saat ini menghadapi teguran dari kerajaan setelah mencabut enam Peraturan Darurat tanpa persetujuan Raja.