Selasa 24 Jul 2018 11:50 WIB

Bangsamoro, Minoritas Muslim Paling Miskin di Filipina

Kurangnya perhatian dari pemerintah pusat mendorong pemberontakan Moro.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Friska Yolanda
Pejuang Moro
Foto: Al Arabiya
Pejuang Moro

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Penduduk asli muslim Bangsamoro di Mindanao, Filipina gagal mengamankan wilayah tersebut sebagai otonomi mereka usai parlemen negara batal meratifikasi Rancangan Undang-undang (RUU) untuk ditandatangani oleh Presiden Rodrigo Duterte pada Senin (23/7). Padahal pengesahan RUU tersebut dapat mengakhiri negosiasi selama 22 tahun antara MILF dan pemerintah Filipina.

Bangsamoro atau Bangsa 'Moro' adalah istilah yang berasal dari kata Spanyol untuk 'Moor', mengacu pada lebih dari 10 juta anggota dari beberapa kelompok etnis di Mindanao yang menghindari Hispanik dan Kristenisasi dari seluruh Filipina pada abad ke-16 hingga ke-19. Moro juga menolak penjajahan Amerika Serikat di awal abad ke-20.

Akibatnya, mereka mempertahankan budaya dan warisan yang cukup berbeda dari 90 juta orang Filipina lainnya. Kondisi itu telah menyebabkan diskriminasi, penelantaran dan bahkan penganiayaan oleh pemerintah.

Kurangnya perhatian dari pemerintah pusat di Manila juga menyebabkan provinsi Moro termasuk yang paling miskin di negara mayoritas kristen tersebut. Pada 1970, Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) dibentuk dan memulai pemberontakan Moro terorganisir pertama terhadap Filipina dalam upaya untuk mendirikan negara Islam merdeka.

Ketika MNLF menyelesaikan otonomi pada 1976, beberapa anggota memisahkan diri dan akhirnya membentuk Front Pembebasan Islam Moro (MILF) yang terus berjuang untuk kemerdekaan. MILF pertama kali bernegosiasi dengan pemerintah pada tahun 1996 di bawah Presiden Fidel Ramos, tetapi upaya itu gagal pada tahun 1999 ketika Presiden Joseph Estrada menyatakan perang habis-habisan terhadap kelompok tersebut. 

Negosiasi dimulai kembali pada 2001 di bawah Presiden Gloria Arroyo. Kesepakatan damai yang pasti ditandatangani antara MILF dan Presiden Benigno Aquino pada Oktober 2012, diikuti oleh perjanjian komprehensif pada Maret 2014.

Kongres telah menyusun 'hukum dasar Bangsamoro' pada Januari 2015 ketika sebuah misi polisi untuk menangkap target Jamaah Islamiyah yang terkait dengan Al-Qaeda di provinsi Maguindanao. Operasi itu mengakibatkan baku tembak dengan pejuang MILF. Kegagalan itu mendiskreditkan MILF di antara para legislator yang kemudian menjatuhkan penilaian Bangsamoro dari prioritas mereka.

Baca juga, Muslim Filipina Gagal Sahkan Wilayah Otonomi

Duterte yang berasal dari Mindanao dan mengklaim dirinya sebagai keturunan Moro, berjanji akan mendirikan Bangsamoro segera setelah mengambil alih kekuasaan pada 2016. Dia berencana untuk menandatangani undang-undang itu ketika ia menyampaikan pidato tahunan State of the Nation Address (SONA).

SONA adalah pidato tahunan Presiden Filipina untuk sesi gabungan Kongres Filipina. Diamanatkan oleh Konstitusi tahun 1987, pidato disampaikan setiap hari Senin keempat bulan Juli.

Sebelum Bangsamoro dapat dibentuk, UU Organik akan dibuat untuk sebuah plebisit (pemungutan suara) di provinsi-provinsi yang akan dimasukkan dalam wilayah otonom. Plebisit akan menentukan apakah 39 desa di Cotabato Utara, enam kotamadya di Lanao del Norte, dan kota Cotabato di Maguindanao dan Isabela di Basilan akan dimasukkan dalam wilayah Bangsamoro yang diusulkan. Plebisit diperkirakan akan berlangsung sebelum akhir tahun.

Baca juga, Duterte Janjikan Tandatangani UU Otonomi Bangsamoro Besok

Dalam UU itu, kekuasaan atas polisi dan militer wilayah Moro tetap di tangan pemerintah pusat dan melarang pemerintah Bangsamoro membeli dan memiliki senjata api untuk mencegah pemberontakan lebih lanjut.

Sekretaris proses perdamaian di bawah presiden Aquino, Teresita Deles, memperingatkan tentang kekerasan baru jika Bangsamoro gagal memenuhi harapan orang Moro. "Terlalu sering berharap sesuatu yang tidak menjadi kenyataan, itu lebih menyakitkan. Ini membuat situasinya menjadi lebih tidak berpengharapan. Dan dapat mendorong orang untuk memikirkan alternatif lain," kata Deles.

Ada kelompok bersenjata lainnya yang telah terpecah dari MNLF dan MILF. Mereka menolak otonomi dan mendorong pemisahan diri. Jika Bangsamoro ternyata merupakan kekecewaan lain, kelompok separatis lain itu dapat memanfaatkan frustrasi orang Moro untuk merekrut lebih banyak pejuang dan menyokong dukungan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement