REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Sebanyak 15 persen atau satu dari tujuh mahasiswa Australia saat ini terkadang melewatkan makan karena kesulitan keuangan yang mereka alami. Hal itu terungkap dalam survei Universities Australia, lembaga yang menghimpun perguruan tinggi, yang melibatkan 18.500 mahasiswa di 38 universitas.
Karena tidak punya uang, rata-rata 15 persen mahasiswa terpaksa tidak makan. Namun bagi mahasiswa di daerah, angkanya lebih besar yaitu 19 persen. Sedangkan bagi mahasiswa aborigin, jumlahnya 25 persen.
"Ini berarti saat mahasiswa berada di supermarket, mereka tidak bisa membeli makanan karena tak mampu membelinya," ujar CEO Universities Australia Catriona Jackson kepada ABC.
Menurut Catriona, tekanan finansial ini membuat banyak mahasiswa memikirkan kembali rencana kuliah mereka. Disebutkan, 10 persen responden mengaku menunda perkuliahan mereka karena tidak mampu melanjutkannya. Sebanyak 20 persen lainnya mengaku mengubah kuliahnya menjadi paruh waktu.
Hasil survei ini tidak mengejutkan Ketua Union of Students Mark Pace. Sama seperti mahasiswa biasa lainnya, saya punya banyak teman yang secara rutin melewatkan makan karena tidak mampu membelinya. Mereka tidak bisa membayar sewa rumah atau transportasi pulang-pergi ke kampus," katanya.
Fakta lainnya dalam survei ini menunjukkan empat dari lima mahasiswa memiliki pekerjaan. Bahkan, jam kerja mereka terus meningkat.
Hampir sepertiga mahasiswa (30 persen) tercatat bekerja lebih dari 20 jam seminggu. Menurut Catriona, hal ini berdampak negatif pada nilai mata pelajaran mereka.
Di bawah garis kemiskinan
Mark Pace mengatakan salah satu alasan mengapa muncul tekanan finansial bagi mahasiswa Australia saat ini adalah tunjangan yang tak lagi memadai, seperti Youth Allowance atau Newstart. "Seorang mahasiswa yang membayar kebutuhan pokok seperti sewa rumah, makanan, transportasi dan berbagai tagihan, biayanya sekitar 433 dolar AS seminggu," jelasnya.
Saat ini, katanya, Youth Allowance maksimal hanya sekitar 445 dolar AS setiap dua minggu (bagi pemuda yang tidak punya anak). Artinya, orang-orang ini bisa dikatakan relatif berada di bawah garis kemiskinan untuk ukuran Australia.
Menurut survei ini, mahasiswa aborigin memiliki tunjangan pendapatan lebih tinggi namun juga menghadapi lebih banyak kesulitan keuangan. Hampir separuh dari mahasiswa pribumi tersebut menerima tunjangan pendapatan, 42 persen di antaranya mengaku tunjangan tersebut tidak mencukupi.
"Tidak bisa diterima jika situasi keuangan mahasiswa aborijin lebih buruk di saat mereka kuliah," kata Mark.
Mahasiswa aborigin rata-rata berusia lebih tua dibandingkan mahasiswa lainnya dan memiliki lebih banyak tanggungan termasuk tanggungan anak.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.