Senin 27 Aug 2018 15:39 WIB

Reuters Kecewa dengan Putusan Hakim Myanmar

Sidang pembacaan vonis jurnalis Reuters ditunda pekan depan.

Rep: Mimi Santika/ Red: Teguh Firmansyah
Dua wartawan Reuters yang dipenjara pengadilan Myanmar, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo
Foto: Radio Free Asia
Dua wartawan Reuters yang dipenjara pengadilan Myanmar, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Putusan terhadap jurnalis Reuters ditunda sampai sepekan yakni pada Senin (3/9) mendatang. Pihak Reuters mengaku kecewa tidak menerima putusan hakim pada hari ini, Senin (27/8).

"Kami kecewa karena tidak menerima keputusan hakim hari ini," kata Reuters dalam sebuah pernyataan.

Seorang pejabat pengadilan menyebut penundaan putusan karena hakim yang mengawasi kasus tersebut sakit. Sementara, juru bicara pemerintah Zaw Htay tidak dapat segera dihubungi untuk memberikan komentar tentang penundaan putusan itu.

Myanmar menuntut dua jurnalis Reuters yakni Wa Waone (32) dan Kyaw Soe Oo (28) yang dituduh melanggar Undang-undang Rahasia Resmi. Puluhan wartawan dan diplomat telah berkumpul di pengadilan Yangon untuk mendengarkan putusan, puncak dari delapan bulan persidangan.

Baca juga,  Wartawan Reuters di Myanmar Terancam 14 Tahun Penjara.

Kasus yang dinilai penting karena dilihat sebagai ujian kemajuan menuju demokrasi di negara Asia Tenggara. “Wa Lone dan Kyaw Soe Oo sudah menghabiskan lebih dari delapan bulan di penjara berdasarkan dugaan kejahatan yang tidak mereka lakukan. Kami berharap dapat menerima putusan minggu depan, ketika kami sangat berharap bahwa mereka akan dibebaskan dan dipersatukan kembali dengan keluarga mereka," tutur Reuters.

Kasus ini terjadi di tengah kecaman terhadap penerima Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi atas tindakan keras keamanan di negara bagian barat Rakhine. Serangan membabi buta terhadap warga Rohingya itu disebut dipicu oleh aksi gerakan militan pada Agustus 2017.

Amnesty International mengatakan sejak 25 Agustus 2017, sekitar 750 ribu Rohingya, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh setelah pasukan Myanmar memulai tindakan keras terhadap komunitas Rohingya.

PBB telah menyatakan yang dilakukan militer Myammar terhadap Rohingya mengarah ke pembersihan etnis dan menggambarkan Rohingya sebagai orang-orang yang paling teraniaya dan tertindas di dunia. Bahkan pengungsi yang tiba di kamp Bangladesh menceritakan kasus perkosaan, penyiksaan, dan desa-desa terbakar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement