Kamis 30 Aug 2018 10:50 WIB

Harga Telur 5 Juta Bolivar, RS Venezuela Berubah Mengerikan

Banyak pasien yang ditinggalkan dan meninggal karena minimnya tenaga medis dan obat.

Rep: Marniati/ Red: Nur Aini
Ilustrasi krisis Venezuela.
Foto: Reuters
Ilustrasi krisis Venezuela.

REPUBLIKA.CO.ID, CARACAS -- Hiperinflasi di Venezuela telah menyebabkan krisis ekonomi yang berdampak pada sistem kesehatan. Banyak dokter memutuskan untuk berhenti melakukan pelayanan karena krisis tersebut.

Dilansir Sky News, Rabu (28/9), tim kesehatan yang tersisa harus berjuang untuk memberikan perawatan yang paling mendasar kepada pasien. Banyak pasien ditumpuk di troli rumah sakit dan sebagian besar rumah sakit tutup karena kurangnya tenaga medis, obat-obatan, dan persediaan. Seorang dokter mengatakan seorang pasien meninggal karena mereka tidak memiliki jarum.

Beberapa petugas rumah sakit memutuskan untuk mogok karena mereka menuntut pembayaran yang lebih tinggi. Seorang dokter mengaku dibayar sekitar lima juta bolivar per bulan. Padahal harga satu paket telur di negara itu empat juta bolivar.

"Kami tidak bisa makan. Tapi kami di sini karena cinta. Kami harus membantu orang-orang ini," kata Dokter Emily Montilla.

Presiden Venezuela sedang berjuang untuk mengendalikan hiperinflasi dan membendung arus puluhan ribu warga negaranya yang melarikan diri dari kekacauan sosial, ekonomi, dan politik di negara itu. "Semuanya di sini sangat menyedihkan. Saya tidak bisa tidak membantu mereka, karena mereka butuh bantuan dan tidak ada seorang pun di sini," kata dokter lainnya Margaret Gamboa.

Kondisi menyedihkan begitu terlihat di rumah sakit Venezuela. Banyak keluarga pasien mengatakan jika krisis tidak terjadi maka keluarga mereka pasti masih hidup. Karena kurangnya tenaga medis maka banyak keluarga pasien yang merawat anggota keluarganya sendiri. "Setiap pasien harus membeli perban sendiri, obat-obatan, bahkan sarung tangan. Jika Anda tidak mampu, Anda menunggu atau Anda kehilangan," tulis laporan itu.

Rumah sakit juga dalam kondisi tidak bersih dan kekurangan pendingin ruangan.  Di sudut-sudut rumah sakit beberapa pasien terlihat dibiarkan di tandu dan diletakkan di tangga serta tempat lainnya. Salah seorang pasien berusia sembilan tahun, Cesar Torres awalnya dirawat karena diare. Namun saat di rumah sakit ia ternyata juga menderita beberapa infeksi lain.

Torres telah berada 66 hari di rumah sakit, termasuk dua bulan di perawatan intensif di mana dia hampir kehilangan nyawanya. Cesar telah mendapat bantuan dari organisasi amal sehingga berhasil diselamatkan.

Meski begitu, ia sangat membutuhkan antibiotik dan rumah sakit tidak memilikinya. "Jadi, dia tetap di tempat tidur, tidak bisa bergerak terlalu banyak, dan kurus. Tetapi

 Cesar adalah keajaiban," ujar ayah  Cesar.

Ia mengatakan 80 persen pasien di ICU meninggal. "Banyak faktor yang harus disalahkan untuk ini. Sosial, ekonomi, politik," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement