Kamis 27 Sep 2018 18:34 WIB

Makin Banyak Warga Papua Nugini Jual Anak

Tren penjualan anak di Papua Nugini semakin meningkat.

Red: Nur Aini
Port Moresby, Papua Nugini.
Foto: ABC
Port Moresby, Papua Nugini.

REPUBLIKA.CO.ID, PORT MORESBY -- Dalam waktu kurang dari dua bulan, para pemimpin negara-negara yang paling berkuasa akan berada di ibu kota Papua Nugini untuk menghadiri KTT APEC. Mereka akan bertemu secara tertutup di gedung konvensi bernilai jutaan dolar AS yang baru dibangun. Namun di jalanan Port Moresby dan di kota-kota pedalaman, para pekerja sosial memeringatkan adanya tren meningkat dari orang tua yang menjual atau meninggalkan anak-anak mereka.

Peter Nepil, seorang petugas perlindungan anak untuk provinsi Western Highlands, mengatakan, bulan lalu ia didekati oleh seorang perempuan di kota dataran tinggi Mount Hagen. Perempuan itu menawarkan bayi perempuannya, yang baru berusia dua setengah bulan.

"Ia mengatakan kepada saya bahwa ia mencoba menjual seorang anak dan kemudian mendapatkan uang untuk pergi ke tempat lain seperti Lae atau Port Moresby untuk tinggal bersama beberapa teman keluarga," katanya.

Menurut Nepil, perempuan itu meminta 2.000 kina (atau setara Rp 8,46 juta), tetapi ia menawar hingga 1.500 kina, yang hanya sekitar Rp 6 jutaan. Nepil mengatakan ia kemudian memanggil polisi dengan kedok mengatur uang pembayaran.

Pada Mei di kota yang sama, yakni Mount Hagen, pria setempat -yang bernama Daniel Pamenda, mengatakan seorang perempuan menawarinya seorang bayi laki-laki seharga sekitar 400 dolar AS (atau setara Rp 4 juta).

"Ia [mengatakan] kepada saya 'Saya menjual anak saya, jika Anda ingin membelinya maka saya bisa menjualnya kepada Anda," katanya.

Para petugas sosial mengatakan penjualan anak-anak menjadi lebih umum karena orang berduyun-duyun ke kota-kota dari daerah pedesaan dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan.

"Ini tidak hanya terjadi di wilayah dataran tinggi, itu terjadi di mana-mana di Papua Nugini sejauh yang saya ketahui, tetapi sebenarnya hal-hal semacam ini tidak dilaporkan," kata Nepil.

Simon Yanis, CEO Kantor Layanan Anak dan Keluarga, mengatakan ia tahu dua kasus baru lainnya, yang berlangsung di Port Moresby. Tetapi ia menduga ada lebih banyak yang tidak melapor ke lembaga perlindungan sosial.

"Ada kecenderungan, kecenderungan yang meningkat dalam penjualan anak-anak, terutama penyebabnya adalah migrasi perkotaan-perdesaan, dan juga kehamilan yang tidak terduga dalam kelompok remaja," katanya.

Yanis mengatakan bahwa kantornya sedang dalam proses pembentukan dewan kesejahteraan anak nasional untuk memperkuat jaringan perlindungan anak dan pengawasan di seluruh Papua Nugini. Anak-anak di Papua Nugini seringkali diasuh oleh jaringan anggota keluarga di bawah sistem tradisional "wantok" dan adopsi informal atau pengasuhan sementara relatif umum terjadi.

Tetapi belakangan ini, Yanis telah bersuara di media lokal untuk mendesak agar warga melaporkan penjualan anak-anak kepada pemerintah setempat. Penjualan anak-anak adalah ilegal di bawah Lukautim Pikinini nasional, atau Undang-Undang Kesejahteraan Anak Tahun 2015, dan dapat dihukum hingga lima tahun penjara.

Tessie Soi, yang mengelola Yayasan Teman di Port Moresby untuk mendukung orang yang hidup dengan HIV / AIDS, mengatakan ia juga melihat lebih banyak anak HIV-positif yang ditinggalkan di rumah sakit. Anak itu ditinggalkan selama perawatan, oleh anggota keluarga.

"Saya percaya hal itu semakin parah dan saya pikir itu karena keluarga mengatakan kepada saya bahwa situasi keuangan mereka tidak begitu baik," katanya.

Dalam laporan perdagangan manusia terbaru dari Departemen Luar Negeri AS, tercatat bahwa Pemerintah Papua Nugini "mempertahankan upaya minimal untuk mencegah perdagangan" dan menurunkan peringkat negara itu ke level ketiga, peringkat terendahnya.

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2018-09-27/demi-penuhi-kebutuhan-makin-banyak-orang-tua-jual-anaknya-di-p/10314174
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement