REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI -- Presiden Taiwan Tsai Ing-wen meminta Cina untuk tidak menjadi 'sumber konflik'. Dalam pidato di acara peringatan Hari Nasional, Tsai juga berjanji akan meningkatkan pertahanan wilayahnya terhadap ancaman militer Beijing.
"Jadi sekali lagi, saya menyerukan kepada pihak berwenang di Beijing, sebagai sebuah negara dengan kekuatan besar, untuk memainkan peran positif di kawasan dan dunia, bukannya menjadi sumber konflik," kata Tsai di depan Gedung Kantor Kepresidenan di pusat ibu kota, Taipei, Rabu (10/6).
Cina memutuskan hubungan dengan pemerintahan Tsai tak lama setelah Tsai dilantik pada 2016. Cina juga telah meningkatkan tekanan diplomatik, ekonomi, dan militer di Taiwan dalam upaya untuk memaksa Tsai menyetujui bahwa Taiwan adalah bagian dari Cina.
Cina dan Taiwan berpisah di tengah perang saudara pada 1949. Cina menganggap pulau itu sebagai bagian dari wilayahnya dan bisa diambil alih secara paksa jika perlu.
Menurut Tsai, Taiwan bisa meningkatkan keamanannya dengan menambah anggaran pertahanan setiap tahunnya dan mengembangkan industri pertahanan dalam negeri, khususnya pembuatan kapal selam dan pesawat pelatihan. "Pasukan kita yang ramping dan siap tempur benar-benar memiliki kemampuan untuk mempertahankan kedaulatan Taiwan," ujar Tsai.
Dia mengatakan dia tidak akan mendekati konflik atau mengorbankan otonomi Taiwan. Ia menambahkan, anggaran belanja militer pulau itu akan tumbuh dengan mantap di setiap tahunnya.
Komentar Tsai itu, meskipun konsisten dengan sikapnya selama dua tahun terakhir, disampaikan ketika Cina kembali memberikan tekanan ke Taiwan. Sementara AS menunjukkan lebih banyak dukungan untuk pulau itu.
"Lingkungan, dunia luar telah berubah. Di satu sisi, dia bereaksi terhadap apa yang Beijing lakukan terhadap Taiwan, dan saya tidak menyalahkannya," kata Lin Chong-pin, seorang pensiunan profesor studi strategis di Taiwan.
Cina telah menerbangkan pesawat militer dekat Taiwan puluhan kali sejak 2015 dan telah membujuk lima sekutu diplomatiknya untuk beralih kesetiaan dari Taiwan selama kepresidenan Tsai. Hari ini hanya 17 negara yang mengakui Taiwan, dibandingkan dengan lebih dari 170 negara yang mengakui Cina.
"Tekanan diplomatik, infiltrasi sosial, dan keamanan ekonomi semuanya merupakan ancaman potensial. Prioritas kami saat ini adalah untuk merumuskan strategi keseluruhan, dan meningkatkan keamanan nasional kami," kata Tsai.
Ia menambahkan, memperkuat ekonomi dan jaminan sosial juga merupakan prioritas utama. Taiwan menaikkan perkiraan pertumbuhan ekonomi 2018 menjadi 2,68 persen pada Juni, sebagian karena masuknya investasi asing.
Di bawah pendahulu Tsai dari Partai Nasionalis, Ma Ying-jeou, Taiwan dan Cina berhasil menandatangani serangkaian perjanjian yang mempromosikan perdagangan dan pariwisata, tetapi mengesampingkan isu-isu politik.