Selasa 30 Oct 2018 02:02 WIB

Putri Ayako Menikah dan Lepas Gelar Kebangsawanan

Putri Ayako harus melepas gelar kebangsawanan karena menikah dengan nonaristokrat.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Putri Ayako dan Kei Moriya
Foto: Kyodo News via AP
Putri Ayako dan Kei Moriya

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Di bawah langit biru yang cerah, pada Senin (29/10), sekitar 1.000 warga Tokyo berkumpul di Kuil Meiji untuk menyaksikan upacara pernikahan Putri Ayako dan Kei Moriya. Saat pasangan itu memasuki kuil sambil tersenyum, kerumunan berteriak mengucapkan selamat, dengan kata "Banzai", yang berarti harapan yang baik untuk umur panjang.

Putri Ayako mengenakan kimono uchiki berwarna kuning muda dengan sulaman bunga berwarna merah muda dan daun berwarna hijau, serta hakama warna ungu tua. Ia juga mengenakan celana panjang lebar yang jatuh semata kaki.

Ayako membawa kipas yang terbuat dari daun cupressus Jepang, yang disebut hiougi. Sementara, Moriya mengenakan jas hitam bergaya barat, celana panjang bergaris abu-abu, dan topi sutra milik ayah Ayako, Pangeran Takamado.

Kimono Ayako memiliki gaya dan desain yang mirip dengan yang dikenakan oleh kakak perempuannya, Putri Noriko, ketika menikahi Kunimaro Senge pada 2014. Putri Ayako adalah anak bungsu dari Puteri Hisako dan mendiang Pangeran Takamado, sepupu Kaisar Akihito.

Menurut hukum kekaisaran Jepang, anggota perempuan dari keluarga kerajaan akan kehilangan gelar, status, dan tunjangan mereka jika mereka memilih untuk menikahi seseorang yang tidak memiliki ikatan aristokrat. Aturan yang sama tidak berlaku untuk anggota laki-laki keluarga kerajaan.

Setelah menikahi Moriya, pria berusia 32 tahun yang bekerja sebagai seorang karyawan perusahaan pelayaran Nippon Yusen KK, sang putri akan meninggalkan gelar kebangsawanannya. Ia akan mendapatkan uang sebesar 950 ribu dolar AS dari Pemerintah Jepang untuk biaya hidup.

Sebelum upacara pernikahannya dimulai, Ayako mengubah kimononya menjadi jubah gaya Shinto yang lebih formal. Dia mengenakan kouchiki merah dan rok coklat panjang yang disebut naga-bakama.

Upacara itu sendiri dilakukan secara tertutup dan hanya dihadiri oleh anggota keluarga dekat. Di dalam, pasangan itu akan melakukan beberapa ritual yang menandai pernikahan bergaya Shinto, termasuk bertukar cangkir sake dan menyajikan Tamagushi sebagai persembahan.

Pengantin baru itu juga akan bertukar janji pernikahan dan cincin. Setelah doa terakhir, pasangan tersebut kemudian muncul dari kuil sebagai suami dan istri.

"Saya ingin mendukungnya dengan tegas dan, bergandengan tangan, membangun keluarga yang bahagia dengan banyak tawa," kata Moriya.

"Saya terpesona oleh betapa beruntungnya saya," tambah Ayako. Sejak usia muda, Ayako mengatakan dia diajari bahwa jika terlahir dalam keluarga kekaisaran berarti tugasnya adalah mendukung kaisar dan permaisuri.

"Saya akan meninggalkan keluarga kekaisaran hari ini, tetapi saya akan tetap memberikan dukungan," ujar Ayako.

Kuil tempat upacara pernikahan itu berlangsung merupakan kuil sangat penting secara simbolis. Dibuka pada 1920, Kuil Meiji didedikasikan untuk kakek agung Ayako, Kaisar Meiji dan istrinya, Permaisuri Shoken.

"Saya sangat senang kami mengadakan pernikahan di Kuil Meiji ini, tempat kakek buyut saya Kaisar Meiji disembah. Saya merasa sangat bahagia," tutur dia.

Kaisar Akihito yang sangat dicintai rakyatnya telah mengumumkan bahwa ia akan turun tahta pada 30 April 2019. Tahta kemudian akan diturunkan kepada putranya, Putra Mahkota Naruhito.

Hukum kekaisaran menyatakan, tahta harus diserahkan kepada ahli waris laki-laki. Karena Kaisar Naruhito hanya memiliki satu putra, yaitu Pangeran Hisahito yang masih berusia 12 tahun, maka pangeran itu harus siap diberikan tanggung jawab tunggal untuk menjalankan tugas kekaisaran.

Rencana turun tahta Kaisar Akihito dan rencana pernikahan cucu perempuannya, Putri Mako, menghidupkan kembali perdebatan tentang peran yang dimainkan perempuan di monarki Jepang. Perdebatan mempertanyakan apakah hukum kekaisaran harus berubah untuk memungkinkan perempuan mewarisi tahta.

"Ini adalah pilihan yang masuk akal dan diperlukan dalam hal mengelola risiko, tetapi kelompok konservatif elit yang memerintah telah menolak meskipun dukungan publik kuat untuk suksesi perempuan," kata Jeff Kingston, Direktur Studi Asia di Temple University Jepang, dikutip CNN.

Tidak seperti di Inggris, di mana Ratu Elizabeth menyetujui perubahan garis keturunan kerajaan dan memberi hak yang sama kepada putra dan putri raja Inggris untuk mewarisi tahta, Jepang telah mengesampingkan langkah serupa.

"Rupanya mereka tidak mengambil inspirasi dari Ratu Elizabeth dan malah berlindung di belakang pembenaran patriarkal untuk tidak melakukannya. Hukum akan berubah hanya jika itu benar-benar harus berubah," kata Kingston.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement