Selasa 06 Nov 2018 11:33 WIB

Tanda Mencairnya Hubungan Israel dengan Negara Arab

Sebagian besar negara Arab menghindari hubungan dengan Israel.

Rep: Marniati/ Red: Nur Aini
Bendera Israel (ilustrasi)
Foto: Antara
Bendera Israel (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Akhir bulan lalu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu dan istrinya bertemu dengan Sultan Oman. Itu adalah kunjungan pertama Israel dalam lebih dari dua dekade.

Dilansir BBC, Selasa (6/11), pertemuan kedua pemimpin tersebut berlangsung hangat. Netanyahu mengatakan kepada kabinetnya bahwa ia telah melakukan pembicaraan penting dengan Sultan Oman. Netanyahu menjanjikan banyak hal akan terjadi setelah pertemuan itu.

Pada saat yang sama, Menteri Olahraga dan Kebudayaan Israel, Miri Regev, berada di kontes judo internasional di Abu Dhabi, ibu kota Uni Emirat Arab (UEA). Dia menangis bahagia saat seorang atlet Israel memperoleh medali emas.  Lagu kebangsaan Israel pun diperdengarkan- sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya di Semenanjung Arab.

Kemudian, seorang pejabat Israel lainnya berbicara tentang perdamaian dan keamanan di sebuah acara di Dubai. Dalam perkembangan terbaru, menteri transportasi Israel berada di ibukota Oman, Muscat. Ia mengusulkan jalur kereta api antara Israel dan negara-negara Arab.

Semua ini terlepas dari fakta bahwa Israel tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Oman atau UEA. Seperti sebagian besar dunia Arab, mereka secara historis menghindari hubungan dengan Israel, yang mengarah dalam serangkaian perang Arab-Israel.

"Kunjungan ini sangat penting untuk mencairkan hubungan. Orang-orang Arab Teluk dan pejabat Israel telah mengadakan pertemuan selama bertahun-tahun - mereka saling mengenal - tetapi ada keengganan untuk mengambil langkah lain ini. Sekarang itu berubah,"  kata mantan diplomat Israel, Dore Gold.

Alasan utamanya adalah kekhawatiran bersama atas Iran. Israel, seperti banyak negara Teluk Arab, khawatir tentang ambisi Iran. Mereka melihat Iran sebagai kekuatan destabilisasi di Timur Tengah.

Teheran  terlibat langsung dalam konflik di Suriah dan Irak, dan mendukung pemberontak yang berperang di Yaman. Iran juga mendukung kelompok militan seperti Hizbullah di Lebanon dan Jihad Islam Palestina.

Pemerintah Trump -yang juga berusaha menahan Iran -sangat mendukung hubungan yang lebih erat antara sekutu AS di Teluk dan Israel. Namun, warga Palestina khawatir dengan aliansi baru tersebut. Hubungan tersebut justru berkembang saat Presiden Trump berjanji untuk mengakhiri konflik Palestina Israel.

Palestina khawatir jika AS berupaya mendekati Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan lain-lain untuk menekan mereka agar menerima perjanjian damai yang tidak memenuhi tuntutan Palestina.

"Upaya semacam ini untuk menormalkan Israel di kawasan itu, tanpa Israel normalisasi hubungannya dengan Palestina dan tetap sebagai kekuatan pendudukan, adalah kontraproduktif dan berbahaya," kata Hanan Ashrawi, pejabat senior Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).

Menurutnya perkembangan itu mengancam legitimasi Inisiatif Perdamaian Arab - yang telah ditandatangani oleh 22 anggota Liga Arab pada 2002. PLO menawarkan kepada Israel adanya hubungan diplomasi yang normal dengan negara-negara Arab. Hal itu sebagai ganti penarikan penuh dari tanah Arab yang direbut dan diduduki dalam Perang Timur Tengah 1967.

Saat ini, Mesir dan Yordania adalah satu-satunya negara Arab yang mengakui Israel. Proses perdamaian Israel-Palestina telah lama terhenti dan tahun lalu, terjadi kemunduran dalam perundingan. Palestina - yang menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara masa depan mereka - menolak pengakuan Presiden Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Mereka memutuskan hubungan dengan Washington dan menyebut AS  bukan penengah perdamaian yang jujur. Namun, utusan Timur Tengah AS, Jason Greenblatt, melanjutkan diplomasinya. Ia mengaku optimis dengan hasil perjalanan Netanyahu ke Oman.

"Ini adalah langkah yang membantu upaya perdamaian kami & penting untuk menciptakan suasana stabilitas, keamanan & kemakmuran antara warga Israel, Palestina, dan tetangga mereka," tulisnya  di Twitter.

Para pengamat menduga peran penting yang diberikan kepada Arab Saudi dalam menghidupkan kembali proses perdamaian kembali diragukan dengan adanya kasus Jamal Khashoggi.

Pada Jumat Netanyahu menunjukkan dukungannya untuk Pangeran Mahkota, Mohammed Bin Salman, dalam kasus Khashoggi. Dia mengatakan pembunuhan Khashoggi adalah sesuatu yang menghebohkan. Tetapi hal itu jangan sampai menimbulkan pergolakan di Arab Saudi karena masalah yang lebih besar adalah Iran.

Bahrain menyambut baik posisi yang jelas dari Israel ini, sama seperti sebelumnya mendukung Oman menerima pemimpin Israel. Semua tanda-tanda pergeseran regional ini populer di kalangan orang Israel. Rival politik Netanyahu pun memuji kemajuannya di Teluk. Namun, untuk publik Arab masalah Palestina tetap sangat emosional. 

Jadi untuk saat ini, negara-negara Arab tidak mungkin sepenuhnya merangkul Israel. Namun, akan ada beberapa tindakan yang menunjukkan kemajuan hubungan Israel-Arab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement