Rabu 19 Dec 2018 10:34 WIB

Kebijakan Migrasi Ditentang, Perdana Menteri Belgia Mundur

Mosi tidak percaya dipicu kebijakan migrasi PBB.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Perdana Menteri Belgia Charles Michel
Foto: CNN
Perdana Menteri Belgia Charles Michel

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL-- Perdana Menteri Belgia, Charles Michel mengundurkan diri dari jabatannya pada Selasa (18/12) waktu setempat. Hal itu dilakukan setelah mosi tidak percaya terhadap pemerintahannya dibacakan.

"Seruan saya untuk memerintah pada pemerintahan berikutnya tak didengar dan saya menghormati hasil ini dan memutuskan mengundurkan diri," ujar Michel kepada Parlemen seperti dikutip laman Russia Today, Rabu (19/12). Menurut media Belgia, pidatonya menerima tepuk tangan meriah.

Baca Juga

Keputusan Michel muncul setelah partai oposisi Green dan Sosialis mengajukan mosi tidak percaya terhadap pemerintahannya. Langkah itu diduga dipicu oleh kegagalan koalisi yang berkuasa untuk menyetujui beberapa proposal anggaran.

Pemerintah Belgia memang sudah menunjukkan kelemahan awal bulan ini. Aliansi Flemish Baru (N-VA), yang sebenarnya merupakan kekuatan politik terbesar di parlemen, mengundurkan diri dari koalisi yang berkuasa dengan menyebut ketidaksepakatan dengan mitranya. Hal itu dipicu oleh Pakta Migrasi PBB.

Michel pun harus merombak kabinetnya dan berencana untuk membuat pemerintahannya melanjutkan pekerjaan sebagai minoritas.

Pakta yang didukung PBB itu ternyata menjadi batu sandungan bagi pemerintah Belgia yang disetujui oleh lebih dari 160 negara di Marrakech, Maroko pada awal Desember.

Beberapa negara secara terbuka menentangnya, sementara banyak lainnya, termasuk Belgia, menyaksikan protes luas dari warga mereka. AS, yang pertama secara terbuka menentang pakta itu, mengatakan perjanjian itu mati bahkan sebelum ditandatangani.

Meskipun Pakta tersebut tidak mengikat secara hukum dan dianggap lebih sebagai pernyataan, pakta tersebut ditulis dengan cara mendorong pengadilan domestik dan pihak berwenang untuk mempertimbangkannya ketika membuat keputusan berdasarkan interpretasi undang-undang mereka.

Ketentuan seperti itu telah mendorong Austria, Hongaria, Israel, dan beberapa negara lain untuk menolak perjanjian itu. Kritikus mengklaim bahwa kesepakatan itu tidak memadai untuk mengelola arus migrasi global dan mungkin berdampak negatif terhadap kebijakan imigrasi nasional mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement