REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru bicara kedutaan besar (Kedubes) Cina di Jakarta, Xu Hangtian menjelaskan maksud dari program pelatihan dan pendidikan vokasi di Xianjiang. Hal ini menyusul perhatian luas khususnya masyarakat Indonesia soal nasib Muslim Uighur di Xianjang.
"Pemerintah Cina, berdasarkan peraturan dan perundang-undangan, memberikan perlindungan kepada setiap warga negaranya, termasuk Muslim suku Uighur di Xinjiang untuk menjalankan kebebasan beragama dan kepercayaan," ujar juru bicara Dubes Cina melalui siaran pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (20/12).
Rakyat Cina, termasuk suku Uighur, memiliki 10 suku di Xinjiang yang mayoritasnya menganut agama Islam. Jumlah penduduk di sana sebanyak sekitar 14 juta. Sementara ada 24,4 ribu masjid di wilayah Xinjiang, atau sekitar 70 persen dari jumlah total masjid di seluruh Cina yang jumlah masjid per kapita berada di jajaran terdepan di dunia.
"Jumlah ulama ada 29 ribu orang, sekitar 51 persen dari jumlah total di seluruh negara," ujarnya.
Baca Juga: Cerita di Balik Kamp Pengasingan Muslim Uighur di Xinjiang.
Xu mengatakan, Xinjiang memiliki 103 organisasi massa (ormas) Islam atau 92 persen dari seluruh ormas agama di Xinjiang. Di sana, kata dia juga banyak didirikan beberapa pesantren dan madrasah.
Setiap tahun, pemerintah lokal memberangkatkan ribuan Muslim untuk menunaikan ibadah haji ke Meakah dengan menggunakan charter flight dan menyediakan staf dokter, tukang masak, pemandu, penerjemah dan sebagainya untuk memberikan layanan sepanjang perjalanan.
Untuk diketahui, kitab Suci Alquran dan serangkaian koleksi dari Al-Sahih Muhammad Ibn-Ismail al-Bukhari telah diterjemahkan dan dipublikasikan dalam bahasa Mandarin, Uighur, Kazak, Kirgiz dan bahasa lainnya di Cina.
"Namun, akibat pengaruh ekstremisme keagamaan internasional, ekstremisme keagamaan telah tumbuh dan menyebar luas di Xinjiang dalam beberapa tahun terakhir ini," ujarnya.