Jumat 21 Dec 2018 04:02 WIB

Pelajar Indonesia di Cina Mengaku tak Terpengaruh Isu Uighur

Muslim Indonesia harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan Pemerintah Cina.

Warg aetnis Uighur dengan latar patung mendiang pemimpin China Mao Zedong di  Khasgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, China.
Foto: Thomas Peter/Reuters
Warg aetnis Uighur dengan latar patung mendiang pemimpin China Mao Zedong di Khasgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, China.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Para pelajar Indonesia di Cina tidak terpengaruh isu kelompok minoritas muslim Uighur di Daerah Otonomi Xinjiang. Para pelajar tetap aktif menjalankan kegiatan keagamaan.

"Justru para pelajar Indonesia di sini semakin aktif dalam menjalankan kegiatan-kegiatan keagamaan," kata Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia di Tiongkok (PPIT) Fadlan Muzakki kepada Antara di Beijing, Jumat.

Pernyataannya didukung bukti makin banyaknya komunitas keagamaan Indonesia di Cina. Bahkan pada tahun ini saja telah terbentuk Pengurus Cabang Istimewa Nahdatul Ulama dan Pengurus Cabang Istimewa Muhammadiyah.

Belum lagi beberapa komunitas mahasiswa muslim di berbagai kota di Cina, seperti Lingkar Pengajian Beijing (LPB) yang aktif menggelar kegiatan pengajian setiap bulan.

Demikian halnya dengan Komunitas Buddhis Manggala  dan persekutuan-persekutuan gereja di setiap kota sehingga para pelajar Indonesia di Cina tidak pernah melupakan kewajibannya sebagai umat agama. 

Kalau pun sistem pemerintahan sangat berbeda dengan Indonesia, maka hal itu menjadikan tantangan tersendiri bagi para pelajar Indonesia dalam menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing. Pemerintah Cina melarang warganya atau siapa pun menjalankan kegiatan keagamaan selain di tempat yang telah ditentukan.

"Para pelajar kita, khususnya yang Muslim,biasanya lebih memilih beribadah di asrama masing-masing atau mencari ruangan kelas yang sepi dan tertutup jika keadaan cukup mendesak," ujar mahasiswa S2 Contemporary Chinese Studies di Renmin University itu mencontohkan.

Baca juga, Cerita di Balik Kamp Pengasingan Muslim Uighur di Xinjiang.

Jika sedang ada kegiatan kemahasiswaan di luar ruangan, lanjut dia, maka biasanya para pelajar Indonesia yang beragama Islam menyiasatinya dengan membawa tenda kecil sebagai tempat shalat.

"Demikian pula pada hari Jumat, tidak ada masalah yang cukup serius untuk beribadah shalat Jumu'ah bagi para pelajar muslim karena di setiap kota di sini ada masjid," kata Fadlan.

Untuk mahasiswa yang sedang ada jadwal perkuliahan pada Jumat, menurut dia, dapat berkonsultasi dengan dosennya untuk meminta izin datang terlambat atau keluar kelas lebih awal agar bisa menunaikan shalat Jumuah.

"Bahkan di bebarapa tempat, para mahasiswa muslim menggelar sendiri Jumatan di asrama," kata kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu.

Sementara itu, untuk mahasiswa Kristiani, relatif lebih mudah menjalani peribadatan karena biasanya digelar pada hari Sabtu atau Minggu.

Para pelajar Indonesia yang beragama Kristen atau Katholik juga biasanya aktif dalam setiap kegiatan persekutuan yang diadakan oleh gereja masing-masing.

Bagi mahasiswa Indonesia yang beragama Budha, bukan merupakan hal yang sulit untuk beribadah. "Walaupun dilakukan secara tertutup dan terkadang di dalam asrama kampus atau apartemen, para mahasiswa pemeluk agama Buddha di Tiongkok terbilang cukup aktif dalam menjalankan kegiatan keagamaannya yang bisa dilihat dari kegiatan rutin Buddis Manggala yang ada hampir ada di setiap kota," ujar Ketua Umum PPIT periode 2018-2020.

Demikian pula bagi mahasiswa beragama Hindu. Walaupun jumlahnya terbilang relatif sedikit, tidak ada hambatan yang cukup serius bagi mereka dalam menjalankan ibadah.

Fadlan tidak memungkiri adanya persoalan mengenai kebebasan beragama di Cina, seperti kasus larangan mengenakan jilbab bagi mahasiswi muslimah.

"Namun, hal tersebut biasanya dapat terselesaikan dengan komunikasi yang intensif dan penjelasan yang komprehansif kepada pihak kampus," katanya menambahkan.

Meskipun demikian, dia mengingatkan para pelajar asal Indonesia agar tetap mematuhi peraturan perundang-undangan di Cina, seperti tidak menggunakan ruang kelas atau fasilitas publik lainnya untuk beribadah karena pemerintah setempat telah menyediakan masjid dan tempat ibadah lainnya.

Akhir-akhir ini mulai diembuskan lagi isu penindasan terhadap kelompook minoritas muslim Uighur yang mendiami Daerah Otonomi Xinjiang.

Pemerintah Cina menampik tuduhan Barat yang menganggapnya melakukan pelanggaran HAM dengan menyertakan bukti berupa meningkatnya taraf hidup masyarakat di provinsi paling barat daratan Tiongkok itu.  Hal itu ditunjang dengan pesatnya pembangunan infrastruktur jalan raya, jaringan kereta api, dan pelabuhan udara serta objek-objek wisata.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement