REPUBLIKA.CO.ID, DAKAR -- Jumlah korban jiwa di Republik Demokratik Kongo (DRC) akibat Ebola telah naik jadi 322 sejak wabah tersebut mulai merebak pada penghujung Juli tahun lalu. Kementerian Kesehatan DRC pada Jumat (4/1) menyatakan di antara 609 kasus demam berdarah, 561 dikonfirmasi akibat penularan virus Ebola.
Sedikitnya 48 orang meninggal setelah terserang demam berdarah, tapi belum bisa diabsahkan apakah mereka meninggal akibat Ebola. Pasalnya, mereka dikuburkan tanpa otopsi.
Sebanyak 54.500 orang diberi vaksin untuk menghadapi virus Ebola di negeri itu sebagai bagian dari kegiatan yang dimulai pada 8 Agustus 2018. Sebanyak 208 orang juga dilaporkan telah pulih dari penyakit itu di negara Republik Afrika Tengah tersebut.
Ebola, penyakit demam tropis yang pertama kali muncul pada 1976 di Sudan dan Republik Demokratik Kongo dapat menular ke manusia dari hewan liar. Penyakit tersebut dilaporkan juga bisa menular melalui kontak dengan cairan tubuh orang yang terinfeksi atau mereka yang telah menyerah terhadap virus itu.
Baca juga, Virus Ebola Kembali Mewabah di Kongo, Ratusan Orang Tewas
Ebola mengakibatkan kekhawatiran global pada 2014, ketika wabah terburuk di dunia berawal di Afrika Barat. Pada saat itu, wabah tersebut menewaskan lebih dari 11.300 orang dan menyerang tak kurang dari 28.600 orang lagi saat penyakit tersebut menyebar ke Liberia, Guinea dan Sierra Leone.
Dalam peristiwa terpisah, Presiden AS Donald Trump pada Jumat mengatakan 80 personel militer telah dikerahkan ke Ibu Kota Gabon sehubungan dengan kemungkinan terjadinya kerusuhan di DRC, yang bertetangga, berkaitan dengan pemilihan presidennya belum lama ini. Di dalam surat kepada para pemimpin Kongres, Trump mengatakan tentara itu telah dikerahkan ke Libreville guna mendukung keamanan warga negara AS, personel dan instalasi diplomatiknya di Kinshasa, DRC.
Ia menambahkan, kelompok pertama tentara tersebut tiba di negara Afrika Tengah itu pada Rabu, dan kemungkinan pasukan tambahan akan dikirim jika perlu. "Personel yang dikirim ini akan tetap berada di wilayah tersebut sampai situasi keamanan di Republik Demokratik Kongo mencapai kondisi bahwa kehadiran mereka tidak diperlukan lagi," katanya.