Ahad 06 Jan 2019 12:10 WIB

Pemberontak Bunuh 13 Polisi di Hari Kemerdekaan Myanmar

Pertempuran pasukan Myanmar dan Arakan Army membuat ribuan warga mengungsi.

Rep: Fira Nursya’bani/ Red: Nur Aini
  Kondisi bangunan yang terbakar akibat konflik di Thandwe, Rakhine, Myanmar, Rabu (2/10).  (AP/Khin Maung Win)
Kondisi bangunan yang terbakar akibat konflik di Thandwe, Rakhine, Myanmar, Rabu (2/10). (AP/Khin Maung Win)

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Pemberontak Rakhine telah menewaskan 13 polisi dan melukai sembilan lainnya dalam sebuah serangan terhadap empat pos polisi di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, Jumat (4/1). Serangan tersebut terjadi saat Myanmar tengah merayakan peringatan Hari Kemerdekaan yang ke-71.

Kantor berita resmi Myanmar mengatakan, empat pos polisi di daerah Buthidaung di utara Rakhine diserang oleh ratusan pemberontak Arakan setelah fajar. Sedikitnya 13 polisi tewas dan sembilan lainnya luka-luka.

Juru bicara militer Myanmar, Zaw Min Tun, mengatakan para pemberontak menargetkan pos-pos polisi di dekat perbatasan Myanmar dengan Bangladesh.

"Pos-pos polisi ini ada di sana untuk melindungi ras nasional di daerah itu sehingga (pemberontak Arakan Army) tidak boleh menyerang mereka," kata dia, merujuk sebagian besar kelompok etnis Buddha di daerah itu, yang dianggap sebagai warga negara Myanmar, tidak seperti Muslim Rohingya.

Juru bicara Arakan Army, Khine Thu Kha, mengkonfirmasi serangan itu dan mengklaim para pemberontak telah mengambil tujuh mayat lawan mereka. Dia mengatakan, pemberontak juga membebaskan 12 anggota pasukan keamanan yang ditahannya selama serangan itu.

Serangan itu, ujarnya, merupakan tanggapan terhadap militer Myanmar yang menyerang Arakan Army dalam beberapa pekan terakhir, yang juga menargetkan warga sipil. Namun, militer membantah menargetkan telah warga sipil.

Militer Myanmar bulan lalu mengumumkan penghentian pertempuran di utara dan timur laut negara itu selama empat bulan. Penghentian tersebut bertujuan untuk memulai pembicaraan damai dengan kelompok-kelompok bersenjata yang menginginkan otonomi. Akan tetapi, pengumuman itu mengecualikan Negara Bagian Rakhine.

Polisi Myanmar mengatakan pada Sabtu (5/1), bahwa mereka telah membuka penyelidikan terhadap mereka yang terlibat dalam serangan di pos polisi itu, di bawah undang-undang anti-terorisme Myanmar dan hukum senjata.

"Ini adalah serangan yang direncanakan dengan hati-hati untuk membahayakan jiwa dan harta benda rakyat dan untuk lebih memperburuk ketidakstabilan di negara bagian Rakhine," kata surat kabar Global New Light of Myanmar yang berbahasa Inggris, Sabtu (5/1).

Kekerasan tersebut meletus tak lama setelah bendera nasional dikibarkan di seluruh Myanmar untuk menandai 71 tahun kemerdekaan negara itu dari Inggris. Namun, juru bicara Arakan Army membantah ada hubungan antara serangan dan peringatan tersebut.

“Kami belum merdeka. Hari ini bukan hari kemerdekaan kami,” kata Khine Thu Kha.

Pertempuran antara pasukan Pemerintah Myanmar dan pemberontak dari Arakan Army, yang menginginkan otonomi yang lebih besar di Negara Bagian Rakhine, dimulai pada awal Desember lalu. Arakan Army berasal dari kelompok etnis Rakhine yang beragama Buddha, yang merupakan mayoritas di negara bagian itu. Namun, Arakan Army tidak menyebut agama sebagai faktor pemberontakannya.

Konflik antara militer Myanmar dan Arakan Army telah memaksa 2.500 warga sipil melarikan diri dari rumah mereka pada akhir tahun lalu. Arakan Army mengatakan mereka telah berjuang selama hampir satu dekade untuk menentukan nasib sendiri di 'tanah Arakan,' nama lain untuk Rakhine. Kerajaan mereka memerintah di wilayah pesisir itu sampai abad ke-18.

Arakan Army adalah salah satu dari beberapa kelompok bersenjata yang berjuang atas nama etnis minoritas di wilayah perbatasan Myanmar yang keras. Myanmar adalah sebuah negara yang dulu dikenal dengan nama Burma, yang sekitar 90 persen penduduknya beragama Buddha.

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement