Jumat 11 Jan 2019 08:18 WIB

Makanan Ekstrem dan Jorok Kini Jadi Sumber Gizi Alternatif

Jeroan hewan hingga serangga akan menjadi tren makanan di masa depan.

Red: Nur Aini
 Jeroan sapi diawarkan disalah satu pasar tradisional, Jakarta, Ahad (17/7).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Jeroan sapi diawarkan disalah satu pasar tradisional, Jakarta, Ahad (17/7).

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Bagi orang Indonesia, memakan jeroan atau bagian-bagian lain dari tubuh hewan, seperti otak dan buntut mungkin sudah jadi hal yang biasa. Tapi kebanyakan warga yang tinggal di negara-negara barat menganggapnya sebagai "aneh", bahkan "menjijikan."

 

Saat menjelajahi kawasan Fuzhou, di Cina tenggara, duo blogger asal Inggris, Chris Behrsin dan Ola Jagielska tak sengaja memesan kodok dari menu berbahasa Cina, yang disangkanya ayam. Tapi keduanya malah menyukainya dan belakangan mengetahui jika kaki kodok adalah sumber protein yang baik dan memiliki kandungan omega-3.

Baca Juga

Blogger Being a Nomad, yang sudah keliling Asia ini menjadi di antara orang-orang yang semakin banyak mengakui makanan alternatif, setelah mencoba pertama kalinya saat berlibur dan menemukan budaya yang berbeda.

"Semakin mendunia, kita mulai menerima jenis-jenis makanan lain dan menganggapnya normal … serangga, ubur-ubur, cacing, jamur mentah, adalah di antaranya," ujar Chris kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.

Selain karena industri pariwisata yang makin marak, para pengamat juga mengatakan penemuan makanan-makanan baru telah dipengaruhi oleh jejaring sosial, globalisasi, serta kekhawatiran soal makanan yang berkelanjutan. Innova Market Research di Amerika Serikat adalah salah satu perusahaan yang memprediksi konsumen pada 2019 akan lebih berani mencoba makanan yang dianggap "aneh". Produk makanan dari bahan dasar nabati juga akan menjadi tren menggantikan protein hewani, seperti kacang-kacangan dan lentil.

Juru bicara dari Innova Market Research mengatakan kepada ABC jika tren ini dipengaruhi oleh semakin meningkatnya kesadaran kesehatan, selain juga pertimbangan kesejahteraan hewan, dan lingkungan berkelanjutan.

"Generasi muda (Millennial dan Generasi Z) disebut-sebut akan lebih berhati-hati dengan produk yang hendak mereka beli," ujarnya.

"Bagus atau tidaknya di Instagram menjadi faktor penggerak utama bagi konsumen dari generasi ini."

"Makanan yang baru, unik, kreatif, dengan warna-warni yang funky, bentuk, dan rasanya, menjadi hal-hal yang menyenangkan."

Membuat yang 'menjijikan' jadi enak

Carolyn Phillips, penulis buku memasak yang meraih sejumlah penghargaan, serta blogger 'Madame Huang's Kitchen', pernah tinggal di Taiwan selama 8 tahun. Ia mengatakan masakan-masakan Asia seringkali mendapat reaksi negatif di negara-negara barat, karena dianggap menggunakan bagian-bagian "aneh" dari hewan, seperti usus, otak, dan buntut.

Tapi, Carolyn tahu bagian-bagian binatang itu enak jika dimasak dengan cara yang benar, karena "semua bagian tubuh dari hewan itu enak."

"Kadang-kadang kita perlu menutup mata, buka mulut, dan percaya jika orang lain akan membuat bagian menjijikan jadi enak."

"Dengan dunia yang makin mengecil, kita belajar bahwa rasa enak tidak mengenal batasan."

Serangga sebagai sumber protein alternatif

 

Kara Nielsen, wakil presiden bidang tren makanan dan pemasaran di CCD Helmsman mengatakan kepada ABC bahwa konsumsi serangga secara global mulai bertambah.

"Negara-negara berkembang mencari protein berkelanjutan yang murah," katanya.

"Jumlah [konsumsi serangga] masih sangat kecil di Amerika Serikat, tetapi saya rasa orang-orang muda lebih terbuka untuk memakannya."

Kara mengatakan generasi muda lebih sadar tentang perubahan iklim, dan lingkungan keberlanjutan terus menjadi diskusi global.

Noby Leong, seorang ilmuwan dan presenter ABC untuk program sains 'Catalyst', sudah mengkonsumsi serangga sebagai sumber protein alternatif. Ia sering membuat roti menggunakan campuran tepung gandum dan jangkrik. Pernah juga menikmati taco, makanan khas Mexico, dengan cacing giling dan tak ketinggalan salad dan 'guacamole'.

Dr Leong mengatakan serangga adalah alternatif protein yang berkelanjutan, karena membutuhkan lebih sedikit air untuk produksinya. Bandingkan dengan satu kilogram daging sapi yang membutuhkan sekitar 150 ribu liter air.

Standar ganda dalam makanan

Para pakar mengatakan salah satu alasan orang Asia lebih terbuka untuk memakan hampir seluruh bagian tubuh binatang adalah karena tidak mau membuang sumber makanan. Sebagai contoh, kari yang terbuat dari testis sapi adalah hidangan yang banyak ditemukan di Kamboja, seperti halnya gulai otak di Indonesia.

Dr Leong mengatakan ada "standar ganda" soal masakan asal Asia dan Eropa.

"Makanan Asia ... dengan bahan yang tidak biasa dianggap 'aneh', 'kotor', dan 'menjijikkan'," katanya sambil mencontohkan siput yang dianggap sebagai makanan istimewa di Perancis.

"Tetapi jika bahan-bahan itu digunakan dalam masakan Eropa, [mereka] lebih cenderung dipandang sebagai sebuah kelezatan."

Ia percaya akan ada tren di mana orang-orang tidak mau membuang-buang bahan makanan dan mencoba memasak bagian-bagian tubuh hewan lainnya.

Pakar makanan juga mengatakan konsumen akan melihat lebih banyak daging vegan alternatif di supermarket pada tahun ini. Termasuk "daging" yang terbuat dari gandum dan hidangan laut yang terbuat dari kacang kedelai.

"Banyak dari alternatif ini mungkin tidak terlalu dianggap aneh, tetapi tetap dianggap baru di dunia makanan," kata Kara dari perusahaan konsultan CCD Helmsman di Amerika Serikat.

Ikuti berita-berita menarik lainnya dari ABC Indonesia.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2019-01-10/tren-makanan-di-tahun-2019/10705078
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement