Selasa 12 Feb 2019 17:35 WIB

Dituduh Memberontak, 12 Pemimpin Katalan Jalani Persidangan

Para pemimpin Katalan itu dibawa dari Penjara Soto del Real.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Warga mengibarkan bendera Katalan pada unjuk rasa di Barcelona
Foto: Ivan Alvarado/Reuters
Warga mengibarkan bendera Katalan pada unjuk rasa di Barcelona

REPUBLIKA.CO.ID, MADRID -- Sebanyak 12 pemimpin Katalan menjalani persidangan di Mahkamah Agung Spanyol pada Selasa (12/2). Mereka didakwa melakukan penghasutan, pemberontakan dan memecah belah negara.

Para pemimpin Katalan itu dibawa dari Penjara Soto del Real di luar Madrid ke pengadilan pada Selasa pagi waktu setempat. Selama perjalanan, dua mobil van yang mengangkut mereka mendapat pengawalan ketat dari polisi.

Ratusan polisi, termasuk dari unit anti-terorisme, diterjunkan di sekitar gedung pengadilan. Hal itu dilakukan karena massa pro-kemerdekaan Katalunya turut berkerumun di sana sebelum persidangan dimulai.

Mereka membawa spanduk bertuliskan "kebebasan bagi tahanan politik". Terdapat pula kelompok kecil yang menentang kemerdekaan Katalunya dan hadir di depan gedung pengadilan. Mereka memekikkan kata "golpista" yang artinya komplotan kudeta.

Sebelum disidangkan, sembilan dari 12 pemimpin Katalan itu telah dipenjara tanpa jaminan sejak akhir 2017 atau awal 2018. Sementara itu, terdapat tujuh politisi lain yang terlibat dalam deklarasi kemerdekaan Katalunya pada Oktober 2017 berada di pengasingan di seluruh Eropa.

"Pengasingan dan penjara adalah dua sisi mata uang yang sama yang merupakan penindasan terhadap ide politik," kata ketua parlemen Katalunya Roger Torrent.

Baca juga, Ini Alasan Mengapa Katalan Ingin Merdeka dari Spanyol.

Katalunya telah menggelar referendum kemerdekaan pada 1 Oktober 2017. Saat itu situasi cukup tegang karena aparat keamanan Spanyol berusaha menutup tempat pemungutan suara dan membubarkan massa yang hendak memberikan suaranya. Kendati demikian, pemungutan suara tetap berlangsung.

Hasil referendum itu menunjukkan lebih sekitar 90 persen warga Katalunya menghendaki pemisahan diri dari Spanyol. Kala itu, pemimpin Katalunya Carles Puigdemont tidak mendeklarasikan kemerdekaan wilayahnya secara tegas dan eksplisit, tapi justru menggunakan hasil referendum untuk bernegosiasi dengan Madrid.

Namun Pemerintah Spanyol enggan meladeni Puigdemont karena menganggap referendum kemerdekaan itu adalah ilegal. Setelah tarik menarik, parlemen Katalunya akhirnya memutuskan mendeklarasikan kemerdekaan wilayah tersebut. 

Pascadeklarasi, Pemerintah Spanyol segera mengaktifkan pasal 155 Konstitusi Spanyol. Dengan aktifnya pasal tersebut, Madrid memiliki wewenang mengambil alih dan mengontrol langsung pemerintahan otonom Katalunya.

Perdana menteri Spanyol kala itu, Mariano Rajoy, segera memecat Puigdemont sebagai pemimpin Katalunya. Ia pun memberhentikan wakil dan semua menteri regionalnya. Setelah itu, Pengadilan Tinggi Spanyol menerbitkan surat perintah penangkapan Eropa terhadap Puigdemont dan empat anggota kabinetnya yang telah bertolak ke Belgia.

Perselisihan antara pemerintah Katalunya dan Spanyol saat ini dianggap merupakan yang terburuk dalam beberapa dekade terkahir. Apalagi Pemerintah Spanyol telah mengaktifkan pasal 155 Konstitusi Spanyol.

Pasal 155 Konstitusi Spanyol tahun 1978 tidak pernah diaktifkan selama empat dekade terakhir, tepatnya ketika demokrasi dipulihkan pada akhir era kediktator Jenderal Francisco Franco.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement