REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah Cina mengatakan upaya pencegahan terorisme dan de-ektremisme yang dilakukan di Provinsi Xinjiang seharusnya mendapat apresiasi dari dunia. Beijing mengklaim metode yang mereka lakukan berhasil menekan penyebaran ideologi ekstremis di daerah tersebut.
Kementerian Luar Negeri Cina, mengumumkan, pejabat-pejabat mereka telah memberi penjelasan kepada para diplomat dari lebih dari 80 negara tentang situasi di Xinjiang pada Jumat lalu. Wakil Gubernur Xinjiang Erkin Tuniyaz dan Wakil Menteri Luar Negeri Cina Zhang Hanhui menjelaskan perihal prestasi pembangunan Xinjiang dan upaya kontraterorisme yang dilakukan di sana.
"Upaya anti-terorisme dan de-ekstremisme Xinjiang telah menciptakan cara baru untuk menyelesaikan gejala dan akar penyebab masalah global yang sulit terkait anti-terorisme, dan layak dipuji," ujar Zhang dalam pertemuan tersebut.
Dia mengatakan, Cina tidak akan berhenti melakukan upaya kontraterorisme, bukan hanya di Xinjiang, tapi juga di ranah global.
Kementerian Luar Negeri Cina pada Ahad (24/2) tidak memberi keterangan perihal negara mana saja yang hadir dalam pertemuan pada Jumat lalu. Mereka pun tak menjelaskan apakah para diplomat itu memberi komentar atau pandangan tertentu perihal kondisi di Xinjiang.
Cina telah dituding membangun kamp-kamp khusus dan menahan lebih dari 1 juta Muslim Uighur di dalamnya. Beijing menyangkal tuduhan tersebut. Mereka menyatakan bangunan-bangunan itu sebagai kamp reedukasi.
Menurut Pemerintah Cina di dalam kamp reedukasi itu, para Muslim Uighur diajarkan berbagai keterampilan, seperti menjahit dan lainnya. Otoritas Cina mengatakan kehadiran pusat pelatihan kejuruan tersebut penting guna menghapus kemiskinan di Xinjiang. Mereka mengklaim bahwa para peserta telah menandatangani perjanjian untuk menerima pelatihan kejuruan.
Namun, mantan penghuni pusat pelatihan kejuruan di Xinjiang mengutarakan hal yang berbeda dengan klaim Pemerintah Cina. Mereka mengaku dipaksa untuk bekerja di pabrik tanpa diberi pilihan apa pun. Bahkan yang memiliki keahlian khusus, dituntut untuk melakukan pekerjaan kasar.
Elyar, seorang mantan reporter televisi Xinjiang yang sempat menghuni pusat kejuruan tersebut mengungkapkan, mereka yang bekerja tak mendapat upah. "Kamp itu tidak membayar uang apa pun, tidak satu sen pun," katanya. "Bahkan untuk kebutuhan, seperti hal untuk mandi atau tidur di malam hari, mereka akan memanggil keluarga kami di luar agar mereka membayarnya," ungkap Elyar menambahkan.
Keterangan lainnya diungkapkan Kairat Samarkan, seorang warga negara Kazakhstan yang juga pernah menghuni pusat kejuruan di Xinjiang. "Mereka tidak mengajari saya apa pun. Mereka mencuci otak saya, mencoba membuat kita percaya betapa hebatnya Cina, seberapa kuatnya negara itu, bagaimana mengembangkan ekonominya," ucap Samarkan.
Dia keluar dari pusat kejuruan di Xinjiang pada Februari lalu. Namun ia mengaku disiksa terlebih dulu menggunakan alat besi sebelum bisa pergi dari tempat tersebut.