Selasa 26 Feb 2019 11:10 WIB

Menlu Iran Javad Zarif Mendadak Mundur, Ada Apa?

Zarif menyampaikan permohonan maafnya lewat akun Instagram.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif.
Foto: Reuters
Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengundurkan diri. Zarif meminta permohonan maafnya lewat akun Instagram tanpa memberikan alasan pengunduran dirinya.

"Saya meminta maaf kepada Anda atas semua kekurangan saya dalam beberapa tahun terakhir selama saya menjabat sebagai menteri luar negeri Iran. Saya berterima kasih kepada bangsa dan pejabat Iran," tulis Zarif di halaman Instagram akun @jzarif_ir.

Kantor berita IRNA yang dikelola pemerintah mengutip seorang juru bicara, Abbas Mousavi juga membenarkan Zarif telah mengundurkan diri. Javaz Zarif mundur di setelah menjabat selama 67 bulan.

Pada Ahad, Zarif mengkritik garis keras Iran dalam sebuah pidato di Teheran. Dia mengatakan, Iran tidak bisa bersembunyi di balik rencana imperialisme dan menyalahkan mereka karena ketidakmampuan negara. "Kemandirian tidak berarti isolasi dari dunia," katanya seperti dikutip Haaretz, Selasa.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menanggapi pengunduran diri Zarif. Dalam unggahan di Twitter, Pompeo menuliskan bahwa Zarif dan Presiden Iran Rohani sebagai orang terdepan dalam mafia agama yang korup.

"Kami mencatat pengunduran dirinya. Kebijakan kami tidak berubah, rezim harus berperilaku seperti negara normal dan menghormati rakyatnya", kata Pompeo.

Pengunduran diri itu terjadi beberapa jam setelah kunjungan mendadak Presiden Suriah, Bashar Al-Assad ke Teheran. Namun, menurut Kantor Berita ISNA, Zarif tidak hadir pada pertemuan Assad dengan pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamanei dan, Rouhani.

Zarif menjabat sebagai menteri luar negeri Iran pada Agustus 2013, dua tahun sebelum Iran setuju mengurangi program pengayaan uranium. Kala itu, Iran berjanji untuk tidak mengembangkan senjata nuklir sebagai imbalan atas pencabutan sanksi internasional. Semua ini adalah bagian dari perjanjian nuklir yang melibatkan Amerika Serikat (AS), Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, Cina, dan Uni Eropa.

Sebagai pendukung utama kesepakatan tersebut, Zarif sejak itu mendapat tekanan dari blok-blok kekuasaan garis keras yang menentang perjanjian tersebut.

Kritik terhadap perjanjian tersebut menjadi semakin intens dalam beberapa bulan terakhir setelah keputusan Presiden AS Donald Trump menarik diri dari kesepakatan pada Mei dan menerapkan kembali sanksi terhadap Teheran. Keputusan Trump tersebut mendorong mata uang Iran, rial, terjun sehungga meningkatkan protes sporadis nasional.

Tampak frustrasi

Hassan Abbasi, seorang Jenderal pensiunan di Pengawal Revolusi garis keras Iran, memberikan pidato awal bulan ini. Dia percaya orang Iran akan 'meludahi' Zarif dan pejabat Iran lainnya, termasuk Presiden Hassan Rouhani dan anggota parlemen Ali Larijani yang mendukung kesepakatan nuklir.

"Bapak Hassan Rouhani, bapak Zarif dan bapak Larijani, pergi ke neraka," kata Abbasi pada sebuah demonstrasi di kota Karaj Iran.

Sekutu Rouhani, Zarif dinilai tampak sangat frustrasi pada saat konferensi keamanan baru-baru ini di Munich. Dia diserang kritik atas kesepakatan nuklir yang gagal serta adanya ketegangan baru dengan AS. Rouhani yang relatif moderat menghadapi kemarahan dari para pemimpin Muslim, tentara garis keras, dan masyarakat yang tidak puas.

Rouhani sangat rentan karena krisis ekonomi yang menyerang mata uang negara itu. Pasalnya krisis ekonomi telah melukai warga Iran biasa.

Rouhani menginisiasi kesepakatan nuklir  pada 2015 setelah dua tahun menjabat. Dia pun mendapat pujian dari Iran, yang membanjiri jalan-jalan dari warga untuk merayakannya. Berdasarkan perjanjian tersebut, Iran membatasi pengayaan uranium dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi.

Meski demikian, manfaat dari kesepakatan itu dinilai belum terasa signifikan buat rakyat Iran.

sumber : AP/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement