Rabu 03 Apr 2019 22:41 WIB

Brunei Bergeming Terapkan Rajam untuk LGBT, ini Alasannya

Hukuman rajam ini diberlakukan Brunei merujuk syariat Islam.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi  LGBT
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi LGBT

REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR SERI BEGAWAN –  Brunei Darussalam mulai memberlakukan hukuman rajam hingga tewas bagi warga yang melakukan hubungan sesama jenis atau gay, Rabu (3/4). 

Dalam undang-undang (UU) pidana terbarunya, Brunei juga akan menjatuhkan hukuman kerat bagi pelaku pencurian.  

Baca Juga

UU tersebut sebagian besar berlaku untuk Muslim. Namun terdapat beberapa aspek yang juga dikenakan terhadap non-Muslim.  

UU itu menetapkan hukuman mati bagi untuk sejumlah pelanggaran, termasuk pemerkosaan, perzinaan, sodomi, perampokan, dan penecemaran atau pelecehan nama Nabi Muhammad SAW.  

UU juga menetapkan hukuman kerat atau potong bagi pelaku pencurian. Sementara mereka yang tepergok melakukan aborsi, akan dihukum cambuk.  

Dengan diterapkannya UU tersebut, Brunei menjadi negara pertama di Asia Tenggara dan Timur yang memberlakukan hukuman syariat. Brunei  bergabung dengan negara-negara Timur Tengah, salah satunya Arab Saudi.  

Sultan Brunei Hassanal Bolkiah mengatakan ingin melihat ajaran Islam di negaranya tumbuh lebih kuat. "Saya ingin menekankan bahwa Brunei adalah negara yang selalu mengabdikan ibadahnya kepada Allah SWT," ujarnya dalam sebuah pidato di Bandar Seri Begawan.  

Wakil Direktur Human Rights Watch (HRW) untuk Wilayah Asia, Phil Robertson, mengecam penerapan hukuman syariat oleh Brunei. 

Menurut dia, jenis hukuman itu tak dapat diterima dan sangat kejam. "Tidak ada tempat di abad ke-21 untuk jenis hukuman pidana ini," ujarnya, dikutip laman Aljazeera.  

Sejumlah negara seperti Amerika Serikat (AS), Prancis, dan Australia juga melayangkan kritik terhadap Brunei. 

"AS sangat menentang kekerasan, kriminalisasi, dan diskriminasi yang membidik kelompok-kelompok rentan," kata wakil juru bicara Departemen Luar Negeri AS Roberto Palladino.   

Sementara Prancis dan Australia menyatakan keprihatinan. Mereka meminta Brunei membatalkan langkahnya menerapkan hukuman syariat. 

Sultan Bolkiah telah memperkenalkan hukuman syariat tersebut sejak 2013. Namun penerapannya secara penuh telah ditunda.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement