REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengatakan, ia telah berbicara dengan para pemimpin perusahaan teknologi besar seperti Facebook, Google, Microsoft, dan Twitter, Rabu (24/4). Ini dilakukan sebagai bagian dari upaya mengatasi penyebaran konten kekerasan daring.
"Tidak ada perusahaan teknologi, seperti halnya pemerintah, yang ingin melihat ekstremisme dan terorisme daring," katanya kepada wartawan, Rabu (24/4), dilansir dari Business Insider.
Saat ini, Selandia Baru ingin menekan aktivitas media sosial berbahaya. Ini terjadi setelah 50 orang tewas dalam penembakan massal di Christchurch pada 15 Maret.
Seorang teroris asal Australia berusia 28 tahun, menyiarkan serangan di dua masjid terpisah melalui Facebook. Terdapat salinan video aksi penembakan yang dengan cepat menyebar di platform tersebut, dan lainnya.
"Serangan teroris 15 Maret melihat media sosial digunakan dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai alat untuk mempromosikan aksi terorisme dan kebencian. Kami meminta pemimpin perusahaan untuk memastikan media sosial tidak dapat digunakan lagi seperti sebelumnya," kata Ardern tentang penembakan itu.
Ardern mengatakan, ia berbicara langsung dengan CEO Facebook, Mark Zuckerberg, yang berbelasungkawa setelah penembakan. Namun, ia tidak menguraikan rincian diskusi lebih lanjut.
"Saya tidak berpikir siapa pun akan berdebat teroris memiliki hak menyiarkan pembunuhan 50 orang," kata Ardern.
Facebook menghadapi kecaman keras atas video streaming langsung di situsnya. Perusahaan itu menyebut telah menghapus 1,5 juta video serangan dalam 24 jam.
Ardern mengumumkan, ia dan Presiden Prancis Emmanuel Macron akan menjadi tuan rumah KTT di Paris pada 15 Mei. Kegiatan ini dapat mendorong para pemimpin industri berkomitmen pada Christchurch Call yang mengekang konten ekstremis di media sosial.
Ardern mengatakan, ia telah menerima tanggapan positif dari para pemimpin yang telah diajak bicara. Menurut hukum Selandia Baru, penyebaran atau kepemilikan materi yang menggambarkan kekerasan ekstrem atau terorisme dilarang. Undang-undang hak asasi manusia Selandia Baru juga melarang hasutan melalui media tertulis atau penyiaran.
Kantor sensor Selandia Baru bulan lalu menjadikan kepemilikan dan berbagi video serangan 17 menit itu ilegal. Menurut Television New Zealand, mereka yang mendistribusikan video bisa menghadapi hukuman maksimal 14 tahun penjara.
Di samping itu, enam orang muncul di pengadilan Selandia Baru pada pekan lalu. Mereka mendapatkan tuduhan telah mendistribusikan video secara ilegal dari penembakan Christchurch.