REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Wakil Menteri Pertahanan Sri Lanka Ruwan Wijewardene mengaku telah terjadi kegagalan intelijen yang cukup signifikan sebelum terjadi serangan. Laporan mengenai peringatan sebelum serangan tidak ditindaklanjuti dengan baik sehingga menimbulkan ketegangan di pemerintahan.
"Ini adalah kesalahan besar intelijen, kita harus bertanggung jawab," ujar Wijewardene dalam konferensi pers, Rabu (24/4).
Wijewardene mengatakan, terdapat sembilan pelaku bom bunuh diri yang terlibat dalam serangan di tiga gereja dan empat hotel. Delapan orang telah diidentifikasi dan salah satunya adalah seorang wanita. Wijewardene menyebut, pelaku memiliki latar belakang pendidikan yang baik dan berasal dari keluarga yang kuat secara ekonomi.
"Salah satu pelaku mengenyam pendidikan ke Inggris, lalu melanjutkan program pascasarjana ke Australia untuk meraih gelar sarjana hukum. Mitra asing kami, termasuk Inggris, membantu kami dengan penyelidikan itu," kata Wijewardene.
Wijewardene mengatakan kepada parlemen pada Selasa (23/4) lalu, dua kelompok militan Sri Lanka, National Thawheed Jamaath dan Jammiyathul Millathu Ibrahim bertanggung jawab atas ledakan itu. Dia mengatakan, pemimpin salah satu kelompok itu meledakkan dirinya dalam serangan di hotel mewah Shangri La di Kolombo.
Anggota parlemen Lakshman Kiriella mengatakan, para pejabat senior dengan sengaja menyembunyikan informasi intelijen sebelum serangan terjadi. Dia menambahkan, informasi tentang serangan tersebut diterima dari intelijen India pada 4 April 2019, 9 April 2019, dan Sabtu sebelum kejadian. Tiga hari kemudian, Presiden Sri Lanka Maithripala Sirisena melakukan pertemuan dengan Dewan Keamanan. Namun, informasi tersebut tidak disebarkan.
“Beberapa pejabat intelijen tinggi menyembunyikan informasi intelijen dengan sengaja. Informasi ada di sana, tetapi pejabat keamanan tingkat tinggi tidak mengambil tindakan yang tepat,” kata Kiriella.
Polisi menyatakan, jumlah korban tewas akibat serangan bom di Kolombo bertambah menjadi 359 orang. Peristiwa ini menjadi serangan paling mematikan dalam sejarah di Asia Selatan. Selain itu, tragedi tersebut juga menjadi serangan paling mematikan yang pernah dikaitkan dengan ISIS.
Hingga saat ini, polisi telah menahan 60 orang yang diduga terkait dengan serangan bom tersebut. Polisi telah melakukan penggeledahan ke sejumlah rumah dan mengarah pada penahanan terhadap 18 orang terduga pelaku.
Sebagian besar korban meninggal dunia adalah warga Sri Lanka. Selain itu, terdapat 38 orang asing yang menjadi korban, di antaranya warga Inggris, AS, Australia, Turki, India, Cina, Denmark, Belanda, dan Portugis. Sekitar 45 anak-anak juga turut menjadi korban.
Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Sri Lanka Alaina Teplitz menduga, ada keterkaitan antara kelompok militan lokal, National Thawheed Jamaath dengan kelompok ISIS dalam rangkaian serangan bom yang terjadi di Kolombo pada Ahad (21/4) lalu. Teplitz menilai rangkaian serangan bom tersebut telah direncanakan dan disusun dengan rapi.
"Jika Anda melihat skala serangan, tingkat koordinasi dan kecanggihan mereka, maka tidak mungkin mereka tidak ada hubungannya dengan asing. Hal ini tentu akan menjadi bagian dari penyelidikan," ujar Teplitz.