REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Sri Lanka melarang operasional drone dan pesawat tak berawak, pascaserangan bom yang terjadi pada Ahad (21/4) lalu. Otoritas penerbangan sipil Sri Lanka menyatakan, pihaknya mengambil tindakan tersebut karena situasi keamanan yang ada di negara tersebut.
Sementara itu, kepolisian Sri Lanka terus melanjutkan pencarian bahan peledak yang yang meledak di tempat pembuangan sampah di Pugoda, sekitar 35 kilometer sebelah timur Kolombo. Otoritas Sri Lanka juga khawatir, drone dan pesawat tanpa awak digunakan untuk membawa bahan peledak.
Drone telah digunakan oleh militan di masa lalu untuk membawa bahan peledak. Pasukan Irak menyatakan, pasukan ISIS telah menggunakan drone yang memuat granat atau bahan peledak sederhana utuk menyerang pasukan pemerintah. Selain itu, pemberontak Yaman, Houthi menggunakan pesawat tanpa awak untuk menargetkan parade militer pada Januari lalu.
Kelompok ISIS telah mengklaim bertanggung jawab atas serangan bom di Sri Lanka. Namun, pihak berwenang Sri Lanka masih menyelidiki keterlibatan ISIS dalam aksi pengeboman di tiga gereja, empat hotel, dan sebuah rumah tepat pada hari Paskah lalu.
Pemerintah Sri Lanka menuding kelompok ekstremis lokal, National Tawheed Jamaat berada di balik serangan bom tersebut. Pemimpin National Tawheed Jamaat, Mohammed Zahran atau Zahran Hashmi dikenal oleh para pemimpin Muslim sekitar tiga tahun lalu karena pidatonya yang keras.
Wakil Menteri Pertahanan Ruwan Wijewardene mengatakan, para penyerang telah memisahkan diri dari National Towheed Jamaat dan kelompok lain, yang diidentifikasi sebagai JMI. Polisi telah menangkap dan menahan 60 terduga teroris yang terlibat dalam pengeboman tersebut. Sementara itu, sembilan orang pelaku telah diidentifikasi dan salah satunya merupakan perempuan.
Wijeardene mengatakan, satu orang pelaku memiliki gelar sarjana hukum dari universitas di Inggris dan Australia. Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan, salah satu pelaku berada di Australia dengan visa pelajar. Pelaku tinggal di Negeri Kanguru bersama pasangan dan anak sebelum pergi pada 2013.
Seorang pejabat keamanan Inggris juga mengonfirmasi bahwa seorang pengebom diyakini telah belajar di Inggris antara tahun 2006 dan 2007. Pejabat keamanan, yang berbicara dengan syarat anonim mengatakan, intelijen Inggris tidak mengawasi terduga pelaku Abdul Lathief Jameel Mohamed selama dia tinggal di Inggris. Nama Abdul Lathief Jameel Mohamed pertama kali muncul dan dilaporkan oleh Sky News.