REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Kelompok ulama Muslim terkemuka di Sri Lanka, All Ceylon Jamiyyatul Ulama, mengimbau agar Muslimah di negara itu tak mengenakan niqab. Hal tersebut guna memudahkan aparat keamanan memburu para pelaku pengeboman gereja dan hotel pada Ahad pekan lalu.
"Dalam situasi yang berlaku, saudari-saudari kita seharusnya tidak menghalangi pasukan keamanan dalam upaya mereka menjaga keamanan nasional dengan mengenakan penutup wajah (niqab)," kata All Ceylon Jamiyyatul Ulama dalam keterangannya yang dirilis pada Kamis (25/4) malam, dikutip laman the Guardian.
Otoritas Sri Lanka sedang memburu 140 orang yang diyakini terlibat dalam aksi pengeboman pekan lalu. Mereka diduga kuat memiliki hubungan atau keterkaitan dengan ISIS. Menurut Presiden Sri Lanka Maithripala Sirisena, sejumlah pemuda di negaranya telah terlibat dengan ISIS sejak 2013.
Pasca-pengeboman gereja dan hotel, umat Muslim di Sri Lanka menjadi sasaran kekerasan oleh kelompok fundamentalis. Setidaknya, 700 pengungsi dari aliran Islam yang dipersekusi bersembunyi setelah melarikan diri dari rumah mereka di kota pelabuhan Negombo.
The Guardian, menemukan 500 Muslim lainnya yang bersembunyi. Namun, ia tak menyebutkan kota tempat mereka berada. The Guardian hanya menyebut bahwa lokasi persembunyiaan mereka dijaga cukup ketat oleh aparat kepolisian. Pengerahan personel dilakukan merespons aksi protes oleh warga setempat yang menghendaki agar kelompok Muslim itu dipindahkan ke daerah lain.
"Orang-orang ini harus ditarik keluar dari tempat ini. Kami tidak menginginkannya. Kami tak membutuhkan pengungsi Pakistan," kata seorang anggota dewan provinsi setempat.
Polisi mengatakan para pengungsi Muslim itu berasal dari aliran Ahmadiyah. Mereka akan diminta tinggal selama beberapa hari sebelum dipindahkan ke tempat atau lokasi lain.
Qazi Moin Ahmed (21 tahun) mengaku mencemaskan persekusi yang dilakukan terhadap Muslim di Sri Lanka, khususnya mereka yang berasal dari Pakistan. "Kami bukan musuh mereka. Kami menghadapi situasi yang sama dengan yang dihadapi orang-orang ini. Kami bukan teroris, tapi mereka menganggap kami teroris," ucapnya.
Pada 1974, Pakistan mengubah konstitusinya. Negara itu mendeklarasikan Ahmadiyah sebagai aliran non-Muslim. Selama 10 tahun berselang, anggota Ahmadiyah yang "menyamar" sebagai Muslim akan dijerat dengan pelanggaran pidana oleh otoritas Pakistan.