REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO — Pihak berwenang memastikan jumlah korban tewas dalam serangan bom yang terjadi di Ibu Kota Kolombo, Sri Lanka pada 21 April lalu dilaporkan meningkat menjadi 257 orang. Angka itu diperkirakan dapat terus bertambah, seiring kondisi korban terluka yang kritis dan menjalani perawatan intensif di rumah sakit.
Menyusul pengumuman jumlah korban yang meningkat tersebut, gereja katolik di Kolombo juga menunda sementara diselenggarakannya ibadah pada hari Minggu untuk kedua kalinya. Sebelumnya, Pemerintah Sri Lanka memberi himbauan agar ibadah keagamaan di negara itu tidak diadakan di tempat publik terlebih dahulu karena masih adanya kemungkinan serangan teror terjadi kembali.
Juru bicara keuskupan Katolik di Kolombo, Edmund Tillakaratne mengatakan bahwa seluruh ibadah kebaktian pada akhir pekan ini dibatalkan, dua minggu berlalu sejak serangan teror mengguncang Sri Lanka.
Seluruh tempat ibadah di Sri Lanka hingga saat ini masih ditutup sementara. Pekan lalu, umat Muslim juga diminta untuk melaksanakan ibadah shalat Jumat di rumah masing-masing dan menghindari masjid terlebih dahulu.
Sri Lanka telah diguncang oleh serangkaian bom terkoordinasi yang menargetkan tiga gereja dan tiga hotel besar di Kolombo. National Thowheeth Jama’ath (NTJ) diketahui sebagai kelompok berideologi teroris dan telah dituding berada di balik serangan tersebut, meski pihak berwenang negara itu tidak menutup kemungkinan adanya keterlibatan kelompok atau organisasi teroris asing, melihat skala besarnya insiden tersebut.
Pemerintah negara itu juga telah meminta bantuan internasional untuk melakukan penyelidikan. Sebelumnya, Pemerintah Australia mengkonfrimasi bahwa pelaku serangan bom Sri Lanka didukung oleh Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Laporan itu muncul diikuti dengan klaim kelompok militan tersebut yang mengatakan berada di balik insiden dan mendistribusikan video yang memperlihatkan pemimpin NTJ, Mohamed Zahran berjanji setia kepada ISIS.
Saat ini, keadaan darurat telah diberlakukan di Sri Lanka dan membuat polisi dan militer negara itu memiliki kekuatan yang lebih luas untuk melakukan proses hukum terhadap tersangka. Pihak berwenang, sesuai dengan ketentuan dapat menahan dan menginterogasi tersangka tanpa perintah pengadilan.