Sabtu 04 May 2019 16:38 WIB

40 Persen Warga Korut Terancam Kelaparan

Korut mengalami gagal panen terburuk selama satu dekade terakhir.

Rep: Riza Wahyu Pratama/ Red: Ani Nursalikah
Warga Korea Utara saat bersantai di taman.
Foto: NK News
Warga Korea Utara saat bersantai di taman.

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan sekitar 40 persen masyarakat Korea Utara (Korut) membutuhkan bantuan pangan. Hal itu terjadi setelah Korut mengalami gagal panen terburuk selama satu dekade terakhir, Jumat (3/5).

Gagal panen itu membuat Korut mengalami kekurangan 1,36 juta ton biji-bijian. Akibatnya, pemerintah Kim Jong-un memangkas ransum harian per individu. Jatah ransum per orang berada di bawah 11 ons per hari.

Baca Juga

Hal itu berdasarkan penilaian bersama antara Program Pangan Dunia (WFP) dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Agen dari lembaga tersebut mengatakan, jatah ransum di atas bisa terus turun pada rentang Juli-September.

"Situasi tersebut bisa berubah semakin buruk selama musim paceklik Mei-September. Apalagi jika tidak ada tindakan kemanusiaan yang dilakukan," kata seorang perwakilan PBB dalam misi tersebut.

Gagal panen menambah masalah Korut. Sebelumnya, kekeringan, temperatur tinggi, serta banjir juga menimpa Korut.

Hal itu diperparah dengan terbatasnya persediaan bahan bakar, pupuk, dan suku cadang. Masalah itulah yang mengakibatkan kegagalan panen pada musim gugur yang lalu," menurut pernyataan dari PBB.

Dilansir di The New York Times, Jumat (3/5), tanaman yang akan dipanen pada Juni, juga mengalami curah hujan rendah dan cuaca buruk lainnya. Secara keseluruhan, badan PBB tersebut mengatakan, sekitar 10,1 juta orang (40 persen populasi), mengalami kekurangan pangan dan sangat membutuhkan bantuan.

Beberapa keluarga bertahan hidup dengan pola makan monoton, yakni nasi dan kimchi yang tersedia sepanjang tahun. Mereka hanya makan sedikit protein.

"Ini sangat mengkhawatirkan karena banyak masyarakat berada dalam keadaan yang sangat rentan. Setiap pemotongan ransum mendorong mereka ke dalam krisis kelaparan," kata pejabat WFP, Nicolas Bidault.

Setiap tahun, lembaga bantuan meminta sumbangan jutaan dolar untuk membantu warga Korut. Hak itu khususnya diperuntukan bagi anak-anak dan ibu menyusui yang menderita kekurangan gizi kronis.

Namun, sumbangan internasional berkurang dalam beberapa tahun terakhir. Korut memilih membiayai program senjata nuklirnya. Sumber pembiayaan itu, menurut AS, seharusnya digunakan untuk memberi makan rakyat Korut.

Badan-badan PBB melakukan penilaian di Korut pada April. Mereka berkunjung ke koperasi pertanian, rumah tangga pedesaan dan perkotaan, pembibitan, dan pusat distribusi ransum.

Sebelumnya, sistem ransum pangan Korut runtuh saat kelaparan 1990-an. Sebanyak tiga juta jiwa diperkirakan meninggal.

Saat itu, jutaan masyarakat Korut bertahan hidup melalui makanan yang dijual di pasar ilegal. Namun, jutaan lainnya masih bergantung pada sistem ransum, termasuk para tentara dan pekerja BUMN.

Mereka yang bergantung pada jatah ransum, termasuk para elite, memilih menjalani penderitaan itu daripada bergantung pada kegiatan pasar. Sejak 2016, Dewan Keamanan PBB telah memberikan sanksi larangan ekspor batu bara, serta produk unggulan lain bagi Korut. PBB juga mengekang sistem impor minyak Korut.

Sanksi tersebut menghambat sumber penting pendapatan Korut. Hal itu juga mengurangi kemampuan negara itu mengimpor bahan makanan dalam rangka mengatasi kekurangan pangan mereka.

Pada Februari, Pemimpin Korut Kim Jong-un bertemu untuk kedua kalinya dengan Presiden Trump. Kim meminta keringanan sanksi untuk membuka kembali sebagian fasilitas senjata nuklirnya.

Namun, pertemuan tersebut gagal setelah Trump menolak mencabut sanksinya. Trump baru akan melepaskan sanksi jika Korut menghentikan semua senjata nuklirnya.

"Korut berjanji ia tidak akan tunduk pada tekanan internasional meskipun rakyatnya harus bertahan hidup hanya dengan 'air dan udara saja'," kata media negara tersebut.

Selanjutnya, Kim memberikan batasan kepada AS hingga akhir tahun ini untuk menunjukkan kelonggaran atas sanksi. Kim mengatakan, jika hal itu tidak berhasil, maka ia akan mencari opsi negosiasi diplomatik lainnya.

Kemudian, Kim bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Pertemuan yang digelar pada minggu lalu itu ditujukan untuk mencari bantuan atas sanksi internasional. Presiden Cina, Xi Jinping sepakat berkunjung ke Korut untuk menemui Kim meski tidak ada kabar pasti tentang kapan pertemuan itu akan dilangsungkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement