Ahad 23 Jun 2019 15:42 WIB

Asia Bangkit Hadapi ''Kolonialisme Limbah'' Sampah Impor

Negara-negara berkembang di kawasan ini menjadi pengimpor sampah dari negara kaya.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Gita Amanda
Warga berdiri di atas tumpukan sampah plastik impor di Desa Bangun di Mojokerto, Jawa Timur, Rabu (19/6/2019).
Foto: Antara/Zabur Karuru
Warga berdiri di atas tumpukan sampah plastik impor di Desa Bangun di Mojokerto, Jawa Timur, Rabu (19/6/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seiring dengan meningkatnya populasi dan tingkat urbanisasi di wilayah Asia-Pasifik, negara-negara di kawasan ini juga dihadapkan pada krisis limbah. Selain meningkatnya jumlah limbah plastik yang dihasilkan, masalah limbah di wilayah ini juga diperburuk oleh garis ekonomi. Negara-negara berkembang di kawasan ini menjadi pengimpor sampah dari negara-negara kaya.

Master Hubungan Internasional di University of Melbourne, Shona Warren, dalam artikelnya yang dilansir dari The Diplomat, Ahad (23/6), menyoroti krisis limbah sampah yang melanda negara-negara berkembang. Menurut Warren, masalah sampah di wilayah ini telah menumpuk selama 40 tahun terakhir. Selain karena ketergantungan dunia pada plastik tumbuh, masalah sampah di Asia-Pasifik juga disebabkan oleh impor sampah dari negara-negara maju.

Baca Juga

Berawal pada 1980an, negara-negara maju mulai memperketat undang-undang seputar pembuangan limbah dan standar kesehatan. Negara-negara maju lantas bergegas untuk menghindari peraturan lingkungan mereka sendiri dan menghindari tingginya biaya terkait limbah. Hal tersebut mendorong mereka mulai mengekspor sampah ke negara-negara berkembang.

Negara-negara kaya memilih untuk mengekspor limbah sampah dengan muatan kontainer ke negara-negara berkembang ketimbang mengelola plastik dan limbah berbahaya mereka sendiri. Namun, faktanya, negara berkembang tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk menyimpan atau membuangnya. Akibat praktik ekspor sampah ke negara berkembang ini, pada 1980an muncul istilah baru yang dinamakan  "Kolonialisme Limbah."

Sebenarnya pada 1989 ada Konvensi Basel yang berusaha untuk mengelola pergerakan limbah lintas batas. Konvensi ini digelar sebagai tanggapan atas masalah lingkungan yang berkembang dari kolonialisme limbah. Namun, Konvensi Basel gagal sepenuhnya melindungi negara-negara berkembang. Konvensi justru tidak melarang impor atau ekspor limbah, melainkan lebih terkait dengan jenis limbah yang dapat diekspor dengan persetujuan pemerintah.

Akan tetapi sejak 1989, pengelolaan limbah global beroperasi berdasarkan prinsip negara-negara maju yang mengabaikan prosedur pemerintah negara berkembang. Mereka justru menjual limbah langsung ke perusahaan limbah swasta tanpa persetujuan pemerintah.

Pada 2012, Warren mengungkapkan bahwa Cina sebenarnya mengimpor hampir setengah dari limbah dunia. Namun, pada 2018 lalu, Cina memutus perdagangan limbah global dengan melarang impor plastik dan bahan limbah lainnya.

Hal demikian menyebabkan negara-negara kaya bergegas mencari negara-negara baru untuk mengekspor limbah mereka. Negara-negara di kawasan Asia Pasifik seperti Thailand, Malaysia, Filipina, dan India, menjadi beberapa negara yang menjadi pengimpor limbah tersebut. Sampah yang ada di gudangnya di Australia, Kanada, dan Amerika Serikat, menanti untuk diekspor.

Salah satu permasalahan dari ekspor limbah ini ialah banyak dari limbah 'daur ulang' yang dikirim ke negara-negara berkembang tidak disortir dan dalam kondisi tidak cocok untuk didaur ulang. Walaupun berada dalam kondisi yang dapat didaur ulang pun, Warren mengatakan banyak negara impor tidak memiliki fasilitas manajemen yang memadai dan malah beralih ke tempat pembuangan akhir atau pembakaran. Hal ini tentunya meningkatkan dampak lingkungan terhadap lautan dan kualitas udara.

Beban negara berkembang kian berat. Negara-negara pengimpor sampah harus berjuang untuk mengelola limbah perkotaan yang diakibatkan meningkatnya urbanisasi serta sebagai impor asing yang baru.

Awalnya, negara-negara berkembang tampaknya memandang manfaat ekonomi dari mengimpor limbah ketimbang bahaya sosial dan lingkungan yang ditimbulkan. Namun, seiring berjalan waktu dan dampak yang ditimbulkan, mereka mulai menyadari hak semua bangsa untuk memiliki lingkungan yang bersih.

Foto-foto beredar di media sosial yang memperlihatkan pantai-pantai Thailand yang sebelumnya murni sekarang dilapisi karpet plastik. Bahkan, Warren menyebut bahwa 50 kota paling tercemar di dunia berada di kawasan Asia Pasifik.

Hal-hal ini mendorong negara berkembang di Asia-Pasifik untuk berjuang mengatasi masuknya impor limbah yang dulunya dikelola Cina. Mereka tidak lagi mau menerima metrik ton sampah yang tidak diolah dan disortir.

Warren menyebut bahwa gagasan kolonialisme limbah telah muncul kembali seiring dengan ketegasan sikap dari negara berkembang ini untuk menolak sampah. Malaysia, misalnya, mengumumkan bahwa mereka tidak akan menjadi tempat pembuangan dunia. Sementara itu, Filipina juga telah meminta kedaulatan mereka dan mengembalikan 69 kontainer limbah ke Kanada. Bahkan, juru bicara Presiden Filipina Rodrigo Duterte menyatakan, Filipina sebagai negara berdaulat yang mandiri tidak boleh diperlakukan sebagai sampah oleh negara asing (lain).

Setelah Konvensi Basel pertama kali diratifikasi pada 1989, garis ekonomi pengelolaan limbah sebenarnya masih ada. Namun, kini negara-negara berkembang memiliki dukungan hukum internasional untuk memerangi ketidaksetaraan tersebut. Pada Mei 2019 lalu, undang-undang internasional baru disahkan untuk mengatur perdagangan limbah internasional. Undang-undang ini juga diciptakan untuk meningkatkan hak-hak negara pengimpor seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia.

Setidaknya 187 negara menyetujui dan mengeluarkan amandemen, yang sekarang membutuhkan persetujuan dari negara-negara pengimpor sebelum pengiriman limbah. Hal itu terlepas dari apakah telah dijual atau tidak kepada perusahaan pengelolaan limbah swasta. Dengan adanya undang-undang ini, terhitung mulai 2020 mendatang, pemerintah Malaysia, Filipina, dan Thailand memiliki hak untuk menolak limbah yang tidak mereka setujui untuk impor.

Bagaimana pun, Warren menilai pedoman yang ditetapkan oleh Konvensi Basel dan norma yang berubah di seluruh wilayah Asia-Pasifik ini menandakan perubahan penting bagaimana kawasan memandang perdagangan limbah global. Hal demikian, menurutnya, juga akan menentukan peran negara-negara berkembang dalam sistem perdagangan limbah global.

Namun begitu, Warren menilai masih ada ruang yang harus diperbaiki dalam regulasi perdagangan limbah global tersebut. Menurutnya, penghasil limbah terbesar kedua di dunia, yakni Amerika Serikat, bukanlah pihak yang terlibat dalam Konvensi Basel. Selain itu, limbah elektronik dikatakannya merupakan masalah yang kini mulai meningkat. Ia juga menyoroti kurangnya dukungan internasional dalam menciptakan fasilitas pengelolaan limbah yang memadai di Asia-Pasifik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement