REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Amerika Serikat (AS) dan Jerman mengecam Cina dalam pertemuan tertutup dengan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Cina telah menahan lebih dari 1 juta etnis Uighur dan Muslim lainnya, serta merampas hak-hak mereka.
Cina telah dikritik oleh banyak pihak karena mendirikan kompleks penahanan di Xinjiang. Namun, Cina membantah hal tersebut dan mengatakan bahwa kompleks itu merupakan pusat pelatihan pendidikan untuk menghilangkan ekstrimisme.
Dalam pertemuan tertutup di Dewa Keamanan PBB, Plt Duta Besar AS untuk PBB, Jonathan Cohen menuding Cina telah memberikan tekanan dan menganiaya warga Uighur. Menanggapi hal tersebut, Duta Besar Cina untuk PBB, Ma Zhaoxu mengatakan, diplomat AS dan Jerman tidak memiliki hak untuk mengangkat masalah tersebut di Dewan Keamanan karena merupakan masalah internal negaranya.
Beberapa diplomat yang berada dalam pertemuan tertutup tersebut mengatakan, diskusi berjalan cukup panas. Tudingan terhadap Cina terjadi selama diskusi tertutup di Pusat Regional PBB untuk Diplomasi Pencegahan Asia Tengah. Usai berdiskusi, utusan Cina dan Jerman untuk PBB menolak untuk memberikan komentar.
Bulan lalu AS, Inggris, dan negara-negara barat lainnya menyatakan keberatan atas kunjungan kepala kontraterorisme PBB ke Xinjiang. Mereka khawatir kunjungan itu akan mengesahkan argumen Cina bahwa pihaknya sedang menangani terorisme.
"AS khawatir dengan kampanye Cina yang sangat represif terhadap warga Uighur, etnik Kazakh, Kyirgizstan, dan Muslim lainnya di Xinjiang, dan upaya untuk memaksa anggota kelompok minoritas Muslimnya yang tinggal luar negeri untuk kembali ke China untuk menghadapi nasib yang tidak menentu," ujar seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS dengan syarat anonim.
Kekhawatiran Washington sebelumnya telah disampaikan oleh Wakil Menteri Luar Negeri John Sullivan kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Gutteres. Sullivan mengatakan, Beijing terus menerus melakukan kampanye penindasan terhadap etnis Uighur.
"Beijing terus melakukan kampanye penindasannya terhadap Uighur dan Muslim lainnya dan melegitimasi bahwa itu adalah tindakan kontraterorisme, padahal yang terjadi tidak demikian," ujar Sullivan.