REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah Cina disebut secara sengaja memisahkan anak-anak Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang dari keluarganya. Mereka dibawa ke asrama atau taman kanak-kanak yang dibangun Beijing.
BBC melakukan penelusuran terkait hal tersebut dengan mengumpulkan dokumen yang tersedia untuk publik dan dilengkapi dengan keterangan para keluarga terkait.
Kebanyakan dari mereka diwawancara di Turki. Sebab, jurnalis asing yang mengunjungi Xinjiang selalu mendapat pengawalan ketat dari pihak Pemerintah Cina. Dengan demikian, proses penghimpunan informasi memiliki keterbatasan.
"Saya tidak tahu siapa yang merawat mereka. Tidak ada kontak sama sekali," kata seorang ibu yang ditemui BBC di Istanbul, Turki. Dia pun sempat memperlihatkan foto tiga putrinya.
Seorang ibu lainnya juga mengaku telah kehilangan putra dan putrinya. Ia tak mengetahui nasib mereka kini. "Saya dengar mereka dibawa ke panti asuhan," ujarnya.
Ketidakjelasan nasib dan kondisi anaknya juga dihadapi keluarga lainnya. Beberapa di antara mereka menduga anak-anaknya telah dibawa ke kamp-kamp pendidikan anak.
Mereka yang ditemui BBC di Istanbul adalah warga Uighur, kelompok etnis terbesar di Xinjiang yang mayoritas beragama Islam dan telah lama memiliki ikatan bahasa serta keyakinan dengan Turki. Mereka mengunjungi Turki dengan beragam alasan, menjenguk keluarga, berbinis, dan ada pula yang ingin melepaskan diri dari kontrol Cina.
Dr Adrian Zenz, seorang peneliti Jerman, pernah merilis laporan yang menyingkap bagaimana penahanan massal terhadap orang-orang Muslim di Xinjiang berlangsung. Dia telah menganalisis tentang peningkatan pembangunan sekolah di wilayah tersebut.
Berdasarkan dokumen resmi yang tersedia untuk umum, terungkap bahwa Pemerintah Cina membangun asrama-asrama baru di Xinjiang dengan kapasitas meningkat dalam skala besar. Kampus-kampus juga telah diperbesar.
Di selatan Xinjiang, wilayah dengan konsentrasi Uighur tertinggi, pihak berwenang telah menghabiskan 1,2 miliar dolar AS untuk pembangunan dan peningkatan taman kanak-kanak. Menurut angka pemerintah, pada 2017, jumlah anak yang terdaftar di taman kanak-kanak di Xinjiang meningkat lebih dari setengah juta orang. Sebanyak 90 persen dari mereka adalah anak-anak Uighur dan minoritas Muslim lainnya.
Tingkat pendaftaran prasekolah di Xinjiang telah naik, dari sebelumnya di bawah rata-rata nasional menjadi yang tertinggi di Cina sejauh ini. Ekspansi pendidikan di sana diduga didorong oleh etos yang sama yang mendasari penahanan massal orang-orang dewasa Uighur.
"Sekolah asrama menyediakan konteks ideal untuk rekayasa ulang budaya berkelanjutan masyarakat minoritas," kata Adrian Zenz.
Menurut penelitiannya, seperti halnya di kamp-kamp konsentrasi, saat ini ada dorongan untuk menghapus penggunaan bahasa Uighur dan bahasa lokal lainnya di lingkungan sekolah. Peraturan sekolah menguraikan hukum yang tegas bagi siswa dan guru jika mereka berbicara menggunakan bahasa selain Mandarin.
Hal itu sejalan dengan pernyataan resmi yang mengklaim bahwa Xinjiang telah menerapkan pengajaran bahasa Mandarin penuh di semua sekolahnya. Menurut dokumen resmi pemerintah, tujuan penggunaan bahasa Mandarin di sekolah adalah guna memastikan siswa etnik minoritas dapat menguasai dan menggunakan bahasa nasional pada 2020.
"Saya pikir bukti untuk secara sistematis memisahkan orang tua dan anak-anak adalah indikasi yang jelas bahwa Pemerintah Xinjiang berusaha membangkitkan generasi baru yang terputus dari akar asli, kepercayaan agama, dan bahasa mereka sendiri," ucap Zenz.
Pejabat senior di Departemen Propaganda Xinjiang Xu Guixiang menyangkal bahwa pemerintah mengambilalih pengasuhan dan perawatan sejumlah besar anak-anak di wilayah tersebut yang menyebabkan mereka kehilangan orang tuanya. "Jika semua anggota keluarga telah dikirim ke pelatihan kejuruan, maka keluarga itu pasti memiliki masalah yang parah. Saya belum pernah melihat kasus seperti itu," kata Xu.
Selain pendidikan, Pemerintah Xinjiang dilaporkan sedang mendorong pernikahan antaretnis. Pada Mei lalu, otoritas di sana menerbitkan peraturan untuk memberi penghargaan kepada siswa keturunan campuran. Hal itu dilakukan dengan meningkatkan jumlah poin bonus yang mereka terima saat mengikuti ujuan seleksi perguruan tinggi. Bagi mereka yang orang tuanya etnis minoritas totok, poin dikurangi.